POSTING

Rabu, 26 Januari 2011

TRADISI RUWAT BUMI DI MOJOKERTO

Melihat Tradisi Ruwat Bumi Yang Tersisa di Desa Watesumpak, Trowulan





Selama Prosesi Ruwatan, Warga Dilarang ke Mana-Mana

Upacara ruwat bumi hingga kini masih dilestarikan sejumlah warga desa. Salah satunya adalah Dusun Jatisumber, Desa Watesumpak, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto yang sampai sekarang masih melestarikan tradisi ruwat bumi untuk mendapatkan kesejahteraan desa.

CukX__ Mojokerto


SUARA gamelan terdengar mendayu mengiringi kedatangan rombongan pembawa tumpeng, yang terlihat gagah dengan berseragam pakaian khas jawa. Di belakang tumpeng, ratusan warga dengan mengenakan pakaian khas berjalan beriringan sejauh kurang lebih lima kilometer.
Ada lebih dari lima belas kelompok yang ikut serta dalam barisan panjang ini. Setiap kelompok memiliki tema-tema sendiri alam menentukan kostum mereka. Tradisi di desa tersebut dilakukan dengan melibatkan sejumlah warga yang mewakili berbagai kalangan seperti petani, nelayan, pamong desa serta para pelajar.
Prosesi ritual ruwat bumi dilakukan dengan cara yang cukup unik. Yakni menggarak aneka hasil bumi dan ternak berkeliling desa. Arak-arakan dimulai dari dusun sebelah selatan hingga menuju dusun sebelah utara. Jalan yang dilalui adalah jalan-jalan utama agar warga bisa menyaksikan acara tahunan ini.
Ratusan warga yang mengikuti acara itu, tampak berjejer rapi seolah ingin menyambut rombongan yang baru mengarak tumpeng dengan keliling kampung tersebut.
Dimulai dari depan balai desa setempat sekitar 500 warga berjalan di sepanjang desa sambil membawa hasil bumi dan hewan ternak yang tubuh dan hidup di desa tersebut.
Di bagian depan rombongan arak-arakan ditampilkan dua orang berpakaian Anoman dan seorang gadis dengan dandanan Dwi Sri beserta 5 orang pengawalnya.
Rombongan pertama adalah rombongan para petani. Uniknya, petani rombongan anggotanya adalah para perempuan usia remaja dengan mengenakan kebaya modis berwarna merah muda. Warga yang melihat juga semakin antusias dan beberapa diantaranya terlihat menggoda dengan meneriaki peserta rombongan. Tampilnya seorang gadis berpakaian petani tersebut sebagai simbol kesuburan dan kemakmuran. Dimana warga berharap tidak ada kekeringan dan sawah mereka tetap bisa panen sepanjang tahun.
Ada pula rombongan delapan pemuda yang membawa liong-liong atau naga yang biasa digunakan sebagai tradisi etnis Tionghoa. Selain itu, rombongan pemuka agama juga ikut memeriahkan rombongan seperti rombongan biksu.
Ritual menggarak aneka hasil bumi dan ternak berakhir dengan pemotongan tumpeng oleh kepala desa yang diserahkan kepada sesepuh desa setempat. Usai dipotong sisa nasi tumpeng yang dipercaya akan mendatangkan berkah menjadi rebutan warga.
Sebelumnya, tetua dusun setempat bernama Suwandi sebelumnya memimpin doa untuk keselamatan dusun. Setelah diringi doa, tumpeng yang sudah dipotong langsung diserbu ratusan warga yang nampak tidak sabar mengambil makanan yang disediakan nampan berukuran besar.
Ratusan warga berbondong-bondong membawa makanan dan menyantap bersama di tepi jalan. Mereka menyakini ritual ini selain bisa mendatangkan berkah bagi warga, juga bisa menjauhkan dari bencana yang belakangan kerap terjadi. Warga berharap dengan memakan makanan sesaji ini, mereka bisa menjadi sejahtera karena makanan tersebut sudah diberi doa.
’’Ya percaya saja kalau bisa memakan makanan sesaji bisa terhindar dari bencana,’’ ungkap Sujito, warga sekitar.
Menurut Heri Bowo, kepala urusan pemerintahan Dusun Jatisumber, acara ritual ini memang sudah menjadi tradisi tahunan. ’’Menjelang bulan jawa yakni bulan ruwah memang selalu dilakukan acara ruwatan seperti nama bulannya. Kebetulan hari-harinya menjelang puasa,’’ terangnya.
Heri menjelaskan, kegiatan ini bertujuan untuk bersih desa dan berharap untuk keselamatan desa agar tidak terjadi bencana. ’’Disamping itu juga untuk mengenang Mbah Sumberjati. Dia adalah sosok perempuan yang mendirikan desa ini,’’ ungkapnya.
Namun, ada yang istimewa dalam penyelenggaraan ruwat dusun atau desa. Yakni, warga dusun atau desa setempat yang sedang diruwat dilarang untuk keluar desa/dusun selama pelaksanaan ruwatan.
’’Kalau dulu aturan ini ketat, tapi karena sekarang banyak kesibukan banyak yang melanggar dan itu tidak apa-apa,’’ ujarnya. ’’Kalau dulu hanya PNS, TNI atau Polri yang boleh keluar dusun. Kalau yang wiraswasta ya tidak ke mana-mana. Tapi sekarang bisa dilanggar,’’ terangnya.

GULA MERAH ASAL DESA PENOMPO KEC. JETIS

Melihat Proses Pembuatan Gula Merah secara Tradisional di Desa Penompo, Kecamatan Jetis





Limbah Pabrik Dijadikan Pupuk, Sisa Tebu Dijadikan Bahan Bakar

Pembuatan gula merah yang dilakukan secara tradisional di Kabupaten Mojokerto nyaris tidak ada. Namun, bagi Mustofa, 75, usaha ini tetap dilakukan. Bahkan, usaha pembuatan gula merah dijadikan usaha keluarga.

CukX__Jetis


PANAS terik matahari tidak menyurutkan dua pegawai pabrik tebu yang terletak di Desa Penompo, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto mengaduk enam tungku berdiameter satu meter. Keringat terus membasahi tubuh Suryanto.
Kedua tangannya begitu lihai menggerakkan sebuah kayu berukuran panjang satu meter. Dengan teliti, satu persatu dari enam wajan yang berada di dalam pabrik diaduk secara bergantian.
Panas yang dihasilkan tungku tidak menghalangi semangat Suryanto mengaduk gula merah setengah jadi ini. ’’Untuk menghasilkan gula merah yang memiliki kualitas bagus, pengadukan memang harus lama,’’ ujar pria yang sudah bekerja selama empat tahun ini.
Selama Suryanto mengaduk, Udin, teman kerjanya ikut membantu memasukkan sisa-sisa daun tebu yang kering kedalam tungku agar api pembakar terus menyala. Kedua matanya terus melihat ke dalam tungku untuk memastikan apakah api tetap membara atau mati.
Menurut salah satu putra Mustofa, pemilik pabrik gula merah bernama Muhammad Shoim, proses pembuatan gula merah ini paling tidak membutuhkan waktu antara satu hingga dua jam untuk setiap kali pembakaran.
’’Setelah pembakaran, terus diisi lagi dengan air tebu melalui selang. Selang ini terhubung dengan mesin penggiling tebu,’’ ujar pria berusia 28 tahun ini.
Gula merah buatan Shoim diproses secara sederhana. Tanaman tebu yang telah matang atau berumur sekitar 14 bulan dikepras dari akarnya dan dibersihkan dari daun-daun kering. Proses ini dilakukan di didepan pabriknya.
Tebu kemudian dibawa ke tempat pengolahan, lalu digiling menggunakan mesin untuk mengeluarkan air gulanya. Untuk menghasilkan kadar gula yang maksimal, Shoim terkadang memantau langsung proses pembuatan gulanya. Dengan dua mesin miliknya, tebu-tebu tersebut digiling selama beberapa jam.
Air tebu dengan kadar gula yang tinggi itu selanjutnya dimasak di tungku sampai air gula mengental dan berwarna coklat kemerah-merahan. Selama proses pemasakan di tungku, gula harus terus-menerus diaduk secara manual menggunakan tenaga manusia agar matang merata dan tidak gosong.
Untuk memasak gula, Shoim menggunakan bahan bakar daun tebu yang telah kering. Bahan bakar daun tebu tersebut dimasukkan secara periodik di dalam tungku berukuran 30 cm x 30 cm.
Setelah masak, gula merah dimasukkan ke dalam bak berukuran besar berukuran 100 cm x 60 cm. Setelah dingin gula merah diaduk kembali dan siap dikirim.
Tidak ada bahan campuran lain yang ditambahkan Shoim ke dalam gula merah produksinya. ’’Kami tidak memakai pewarna ataupun bahan pengawet karena itu sangat berbahaya bagi kesehatan. Justru dengan menjaga kemurnian kualitas gula, gula merah produksi kami bisa tahan selama setahun,’’ ujarnya.
Karena tidak memakai pewarna itu pula gula merah yang diproduksi Shoim tidak berwarna merah seperti gula merah yang dijual di pasar tradisional. Gula buatan Shoim justru berwarna cokelat kemerah-merahan.
Shoim mengatakan, pabrik yang dikelolanya bersama dua kakaknya ini sangat ramah lingkungan. Limbah pabrik berupa abu dimanfaatkan sebagai pupuk tanaman untuk lahan tebu miliknya. ’’Sebagian lagi dijual kepada masyarakat sekitar dengan harga murah,’’ ujar anak ke sembilan dari sebelas bersaudara ini.
Shoim mengungkapkan, meski saat ini banyak usaha pembuatan gula merah dengan mesin-mesin lebih modern, namun dia tetap bertahan dengan cara tradisional. Menurutnya, hasil gula yang diproduksinya lebih memiliki kualitas. ’’Saat ini di kecamatan Jetis hanya ini saja usaha pembuatan gula merah. Kemungkinan juga di Kabupaten Mojokerto, karena seingat saya usaha seperti di Gondang sudah tutup,’’ terangnya.
Usaha yang dilakukannya ini sudah dijalani selama lima tahun. Bersama dua kakaknya yakni Nurul dan Nurhadi, Shoim berusaha mempertahankan usaha milik ayahnya ini. ’’Saat ini tidak ada kendala apapun dalam menjalankan usaha pembuatan gula merah. Bahan baku sudah ada ladang sendiri, kalau tidak cukup membeli dari masyarakat sekitar,’’ terangnya yang enggan menyebutkan jumlah produksinya. Hasil gula merah yang diproduksinya ini dijual dalam bentuk utuh tanpa dicetak ke Tulungagung

KRUPUK MEMBLE KHAS MOJOKERTO

Melihat Kerupuk ’’Memble’’ Khas Mojokerto yang Sempat Terpuruk

Dikerjakan Satu Keluarga, Menggeliat usai Vakum 10 Tahun


Usaha kerupuk ’’Memble’’ yang digarap pasangan suami istri Lamisan-Nasinah sempat berjaya pada tahun 1990-an. Bahkan dikenal khas Kabupaten Mojokerto. Namun diserang krisis, usahanya bangkrut. Nah, kini, berupaya bangkit lagi dari tidurnya.

CukX__ Mojokerto


RUMAH dengan tembok berwarna putih yang berada di Desa Penompo, Kecamatan Jetis siang kemarin terasa sepi. Tidak ada aktivitas terlihat dari luar rumah. Hanya sebuah papan bertuliskan nama usaha penjual kerupuk bertengger di depan.
Sebuah papan terbuat dari anyaman bambu terpasang didepan rumah sebagai alas menjemur ratusan kerupuk yang masih basah.
Di samping rumah, sebuah ruangan berukuran 6x6 meter terlihat aktivitas. Canda tawa anak-anak kecil terdengar dari luar rumah. Di depan pintu ruangan yang banyak tersimpan karung-karung tepung terigu itu, Iva dan dua saudaranya tampak tekun meletakkan bahan setengah jadi kerupuk yang baru direbus.
Sesekali bocah perempuan berusia delapan tahun ini bercanda dengan kakaknya, Saifun dan sepupunya Maarif. Ketiganya sangat terampil membentuk kerupuk-kerupuk yang masih basah tersebut dan meletakkannya diatas nampan terbuat dari bambu.
’’Ya begini ini aktivitas sehari-hari di rumah kami. Sehari-hari memang usaha ini dikerjakan oleh keluarga,’’ ujar Lamisan sambil mempersilakan masuk koran ini. Usaha yang dikerjakan satu keluarga ini memang diakui Lamisan sebagai usaha andalan mereka.
Sudah empat bulan ini bapak sembilan anak memulai usahanya sejak mengalami bangkrut 10 tahun lalu. ’’Dulu saya memulai usaha ini pada tahun 1989, awalnya memang tidak besar. Ya kecil-kecil dulu,’’ ungkapnya.
Lamisan tidak perlu belajar secara khusus untuk memproduksi kerupuk dengan rasa gurih ini. Pria berperawakan kurus ini mengaku belajar secara otodidak melalui teman-temannya.
’’Di tempat saya tidak ada yang memproduksi kerupuk. Kebanyakan warga sini bekerja sebagai buruh pabrik, petani dan pedagang,’’ ungkapnya.
Keberaniannya memulai usaha membuat kerupuk ini langsung didukung oleh istrinya. Keduanya bahu-membahu belajar membuat kerupuk yang berbeda dari kerupuk yang dijual selama ini.
Setelah melalui proses panjang dan berbagai percobaan, akhirnya pasangan suami istri ini ’’menciptakan’’ kerupuk baru dengan rasa yang lebih gurih. Bak putaran roda, setelah sepuluh tahun memulai usahanya, Lamisan mengalami kegagalan.
Harga bahan yang mahal serta krisis keuangan yang terjadi pada tahun 1999 memaksa usahanya gulung tikar. Beberapa karyawan yang sudah lama mengabdi pun mulai meninggalkan dia untuk mencari pekerjaan baru.
Namun setelah sepuluh tahun mengalami vakum, pasangan ini mulai memiliki keberanian memulai usahanya seperti dulu. Berbekal modal seadanya serta ruangan sebelah rumah yang sebelumnya tidak terpakai, Lamisan mulai membangun kebangkitan usahanya seperti dulu kala.
Beruntung seluruh keluarganya mendukung. Tidak hanya dukungan moril, anak-anaknya pun turut membantu tenaga. Secara bergantian, keluarga besarnya ikut membantu membuat kerupuk yang dinamakan kerupuk ’’memble’’ ini.
Lamisan sendiri tidak tahu kenapa kerupuk yang dibuatnya dinamakan kerupuk ’’memble’’.
’’Awalnya pembeli yang menanyakan apa ada kerupuk memble, ternyata itu kerupuk saya. Jadi yang memberi nama itu pembeli bukan saya,’’ ungkapnya. Selain itu, para pembeli pernah memberitahu kalau kerupuknya seperti lidah yang menjulur. ’’Makanya diberi nama memble,’’ ungkapnya.
Kerupuk yang diproduksinya ini memang tidak beda dengan kerupuk lain jika dilihat secara sekilas. ’’Tapi rasanya lebih gurih dan tidak keras,’’ ujarnya. Dengan menggunakan bahan-bahan seperti tepung terigu dan tepung kanji serta ditambah bumbu-bumbu seperti bawang putih, Lamisan mampu mengolah menjadi kerupuk dengan rasa khas.
’’Ada teknik sendiri saat menggoreng. Kalau orang lain pasti hasilnya keras terutama dibagian tengah kerupuk karena tidak punya tekniknya,’’ ungkapnya.
Selain karena kegigihannya, Lamisan juga ikut LSM yang bergerak dibidang usaha kecil. Berkat bantuan LSM Kumbo Karno yang diikutinya, Lamisan mendapat pelatihan dan mengetahui bagaimana mengembangkan bisnis kerupuknya.
Meski baru empat bulan menjalankan usahanya, pemasaran yang dilakukan Lasiman dibilang cukup maju. Kerupuk yang diproduksinya mampu mencapai Kabupaten Sidoarjo, Pasuruan dan seluruh Kabupaten dan Kota Mojokerto. ’’Biasanya ada sales yang datang kesini ambil kerupuk, tapi sebagian saya pasarkan sendiri. Kebanyakan di pasar-pasar,’’ ungkapnya.
Meski demikian, usaha yang digelutinya ini tidak lepas dari berbagai kendala. Saat ini, kendala utama yang dihadapinya adalah modal. Lamisan sendiri mengaku ingin usahanya menjadi besar.
Namun karena kurang modal, usahanya kini hanya terkesan jalan ditempat. ’’Keuntungannya masih belum banyak,’’ ungkap Nasinah, menimpali suaminya. Dia berharap. Pemerintah bersedia memberikan pinjaman lunak kepada usaha-usaha kecil seperti dirinya. ’’Kalau bisa tidak ada bunganya,’’ ungkap Nasinah.

PUSAT PAKAIAN MURAH Jl. JOKO SAMBANG MOJOKERTO

Suka Duka PKL Joko Sambang Raup Rezeki





Banyak Pencuri Berkeliaran, Tetap Laris karena Ikuti Mode

Lebaran adalah saat-saat para pedagang PKL di kawasan Joko Sambang kebanjiran rezeki. Betapa tidak, setiap harinya, banyak warga datang ke kawasan wisata niaga ini untuk berburu pakaian murah.

CukX__ Mojokerto



HIRUK-PIKUK lalu lintas di jalanan selebar empat meter sangat terasa di saat hari menjelang sore. Lalu-lalang sepeda motor dan sepeda adalah pemandangan biasa di kawasan ini. Pengendara motor yang melintas di kawasan ini memang dituntut memiliki kesabaran yang tinggi.
Maklum saja, kawasan ini memang sengaja diperuntukkan bagi mereka yang ingin melihat-lihat barang murah.
Namun, sesekali terdengar suara klakson sepeda motor bagi pengendara yang salah pilih jalan. Di sepanjang jalan, suara pedagang menawarkan pakaiannya sangat terdengar jelas. Suara khas pedagang kaki lima yang mencoba mendapatkan peruntungan bagi pengunjung yang melintas.
Langit semakin sore menjelang kaum muslimin berbuka puasa. Perlahan, sepanjang jalan Joko Sambang mulai menampakkan denyut ekonomi. Di pusat PKL pakaian kelas menengah ke bawah itu mulai dikerubungi pembeli yang rata-rata mengendarai roda dua. Sisa lebar jalan yang tinggal sekitar 4 meter itu mulai menyempit lantaran banyaknya kendaraanyang lalu-lalang.
Semakin malam, jalan itu semakin sempit saja. Karena tak hanya melintas, ratusan roda dua ini malah berhenti di depan ratusan kios pakaian yang menjual beragam jenis dan harga itu. Satu per satu kios para pedagang dengan gemerlap lampu ini mulai dipenuhi pembeli, yang rata-rata kalangan muda.
Bagi kalangan muda, kawasan Joko Sambang memang akrab. Di tempat inilah mereka bisa melampiaskan hasrat ’’bergaya’’ dengan tanpa merogok kocek dalam-dalam. Betapa tidak, dengan hanya uang sebesar Rp 15 ribu saja, mereka sudah bisa mendapatkan sebuah kaos yang beraneka desain.
Tak hanya kaos, sejumlah celana jins merek lokalan juga banyak dijual di sini. Beberapa kios juga menjual celana bermerek namun dengan harga bersahabat. Entah karena barang yang dijual itu adalah produk gagal, atau produk ’’sulapan”. Yang jelas, di lokasi ini bisa memenuhi semua kebutuhan fashion kalangan muda.
Banyaknya pengunjung menjelang Lebaran seperti ini, tentu menjadi berkah bagi ratusan pedagang. Omzet mereka bisa naik hingga tiga kali lipat dari hari-hari biasa. ’’Kalau pengunjung paling ramai sekitar pukul 4 sore sampai magrib, pasti banyak anak muda yang datang membeli baju Lebaran,’’ ujar Sulistiono, salah satu pedagang kaos khas anak muda.
Namun dalam kondisi ini, para pedagang juga merasa waswas. Ada bahaya yang mengancam berkurangnya laba mereka dari berjualan pakaian itu. ’’Banyak yang laku, tapi banyak juga pakaian yang hilang,’’ celetuk Sulistiono, pedagang asal Kecamatan Dlanggu.
Dia menjelaskan, pada puncak membeludaknya pembeli, mulai magrib hingga pukul 21.00, pengawasan di kiosnya mulai melemah. Itu lantaran banyaknya pembeli yang mengunjungi kiosnya.
Kondisi inilah yang membuka lebar kesempatan bagi pencuri pakaian. ’’Yang menjaga kios hanya saya dengan adik saya. Sementara pembelinya memenuhi kios yang sempit ini,’’ tukasnya.
Sejauh ini, dia memang tak pernah menangkap tangan para pencuri pakaian itu. Hilangnya sejumlah stok barang ini, diketahui saat ia menghitung jumlah uang yang didapat. Setiap hari, ia harus kebingungan mencocokkan jumlah uang dan pakaian yang laku.
’’Pasti ada saja satu atau dua pakaian yang hilang setiap harinya. Ini juga dialami teman-teman saya yang lainnya,’’ ujarnya.
Ia sendiri mengaku tak bisa berbuat banyak, mengingat kesibukannya melayani pembeli yang membeludak. ’’Kami tak punya satpam yang bisa mengawasi. Pengawasannya memang lemah,” tukas pedagang yang sudah puluhan tahun berbisnis pakaian kelas menengah ke bawah ini.
Kondisi yang sama juga diungkapkan Darmawan pedagang lainnya. Ia pernah sempat menghitung berapa potong pakaian yang raib tanpa rupiah. ’’Pernah sampai sepuluh potong kaos dan celana. Kami sendiri juga tak tahu kelompok mana yang jahil itu,” kata Darmawan.
Darmawan dan pengunjung lainnya hanya berharap adanya kesigapan petugas yang membantu mereka. ’’Dulu sempat ada pencuri yang tertangkap. Tapi kami lepaskan karena kasihan. Pencuri itu juga karena tidak memiliki uang,’’ terangnya.
Namun, pencuri yang belakangan mencuri di kawasan Joko sambaing ini menurutnya dilakukan secara berkelompok. ’’Pasti ada yang mengkoordinir. Tidak mungkin kalau beraksi sendirian,’’ ungkapnya.
Meski demikian, para pedagang tidak sampai rugi banyak jika melihat banyaknya pengunjung di kawasan Joko Sambang. Salah seorang pengunjung, Fitriana, 19, mengatakan, dia memang sengaja datang kekawasan Joko Sambang untuk mencari baju lebaran nanti. ’’Harga di sini bisa ditawar setengah harga dari yang ditawarkan penjual. Kualitas dan modelnya juga baru-baru,’’ ujarnya yang ditemani teman prianya.
Basuki, pengunjung lainnya mengatakan, mode pakaian yang ditawarkan di sini juga tidak ketinggalan. ’’Kebetulan saya mencari jaket seperti vokalis ST 12. Di sini banyak yang jual,’’ ujar pemuda berusia 18 tahun ini malu-malu.

WARGA KREATIF DARI DUSUN KADEMANGAN DESA DLANGGU

Saat Warga Kademangan Atasi Beban Sampah dengan Alat Rakitan Sendiri








Tiga Tahun Api Tak Padam Musnahkan Sampah, Abunya untuk Pupuk

Masalah sampah mungkin merupakan masalah yang sangat kompleks bagi sebagian warga khususnya warga kota. Namun bagi warga Dusun Kademangan, Desa/Kecamatan Dlanggu, Kabupaten Mojokerto, sampah tidak lagi menjadi beban. Dua warganya ciptakan alat pembakar sampah tanpa bahan bakar yang berhasil atasi problem sampah.

CukX__ Mojokerto


BAU sampah sangat terasa di pinggir lapangan Dusun Kademangan, Desa/Kecamatan Dlanggu pagi kemarin. Maklim saja, di pinggir lapangan yang selalu dijadikan tempat berolahraga warga setempat ini dijadikan tempat pembuangan akhir (TPA) sampah milik warga.
Namun tidak seperti kebanyakan TPA yang terdapat penumpukan sampah, di TPA dusun ini hanya sedikit sampah yang menumpuk. Padahal, jika dilihat dari sumber sampah yang masuk ke TPA ini, sampah tidak hanya berasal dari warga sekitar, melainkan dari pasar yang berjarak satu kilometer.
Lalu kemana sampah-sampah yang menumpuk itu? Jawabannya ternyata berada di sebuah alat sederhana yang diciptakan dua warga sekitar. Alat ini memiliki fungsi membakar segala macam sampah, baik sampah basah ataupun sampah yang berukuran besar. Hebatnya lagi, saat membakar, alat ini tidak memerlukan bahan bakar apa pun.
Adalah Kurdi, 50, dan Saliku, 52, pembuat alat pembakar sampah yang didesainnya secara sederhana namun memiliki manfaat luar biasa.
Dikatakan keduanya, alat yang diciptakan mereka hanyalah menggunakan sistem udara, sehingga api tidak mati dan dapat membakar tumpukan sampah. Alat tersebut hanya terbuat dari besi cor setinggi 120 cm. Bagian bawah di-las sedemikian rupa hingga membentuk segitiga dengan lima garis besi di tengahnya.
’’Dari sini udara nantinya keluar dan memompa api sehingga terus menyala,’’ terang Saliku sambil menunjuk jarinya ke arah bawah.
Sekitar lima sentimeter dari bagian dasar, terdapat delapan besi memanjang secara horizontal sepanjang lima sentimeter. Diatasnya lagi, delapan besi dengan ukuran lebih panjang yakni tujuh sentimeter. Alat ini diletakkan dalam sebuah bangunan seluas 100 cm persegi yang juga digunakan untuk menempatkan sampah-sampah yang nantinya akan dibakar.
’’Alat ini sudah digunakan sejak bulan Januari 2006 lalu, jadi sudah tiga tahun alat ini membakar tanpa henti,’’ ungkap Saliku. Dijelaskan pria yang juga bekerja di bagian telematika Polres Mojokerto ini, saat tahun 2006 lalu, awalnya ia memasukkan alat yang diciptakannya ke dalam bangunan pembakar sampah dan meletakkan sampah-sampah yang akan dibakar.
’’Sampah-sampah yang dibakar awalnya sedikit, lalu di bagian bawah alat ini saya bakar tanpa menggunakan bahan bakar, setelah api membara, sampah lainnya saya masukkan,’’ katanya.
’’Begitu sampah mulai habis, sampah-sampah kembali dimasukkan sehingga api terus menyala hingga tiga tahun lamanya,’’ sambut Kurdi. Sampah-sampah yang dibakar tadi akhirnya menjadi abu yang dapat diambil melalui lubang berukuran 60 cm x 20 cm untuk dibuang.
Tidak jarang sebagian warga memanfaatkan abu hasil pembakaran sampah untuk pupuk tanamannya. ’’Mereka percaya abu ini bisa digunakan untuk pupuk, saya juga tidak melarang mereka mengambil,’’ terang Saliku.
Hasil penemuan yang dilakukan Kurdi dan Saliku akhirnya direspons positif oleh masyarakat sekitar. Tanggapan serupa juga muncul dari pengurus dinas pasar setempat. Kini, sampah-sampah yang ada di pasar hampir seluruhnya dibakar di TPS ini.
Keduanya mengaku tidak mematok harga kepada siapa pun yang ingin menggunakan alat ini. Namun mereka hanya memerlukan dana untuk pemeliharaan saja. Keduanya juga mengaku mendapat uang pemeliharaan dan perawatan dari pengelola pasar sebesar Rp 250 ribu.
’’Ya cukup untuk biaya minum dan rokok,’’ terang Saliku. ’’Saya tidak memiliki maksud dan niat apa-apa saat menciptakan alat ini, semuanya hanya keinginan untuk mengatasi masalah sampah,’’ ujar Kurdi.
Dalam sehari, alat ini bisa membakar 3 sampai lima ton sampah yang berasal dari warga dan pasar. Selain dikelola oleh mereka berdua, pengelolaan sampah juga dibantu oleh Bambang Suharto, yang tak lain adalah adik ipar Saliku. ’’Bambang bertugas membawa sampah-sampah dari pasar untuk dibakar di sini,’’ kata Saliku.
Baik Saliku maupun Kurdi menceritakan awal penemuan alat ini. ’’Tiga tahun lalu saya melihat tayangan televisi yang membahas persoalan sampah, dari situ saya tercetus ide membuat alat yang bisa membakar sampah, akhirnya saya dan Pak Kurdi langsung membuat desain alatnya,’’ terang Saliku.
Hanya berbekal keyakinan dan sedikit modal, keduanya membuat alat yang diyakininya bisa mengatasi persoalan sampah. ’’Setelah beberapa lama, alatnya jadi dan langsung di-ujicoba-kan, hasilnya tidak mengecewakan,’’ ungkap Kurdi yang mengaku pernah bekerja sebagai pemborong.
Kini, keduanya telah membuat satu lagi alat sebagai pengganti alat lama. ’’Yang lama memang perlu diganti, sudah tiga tahun terbakar,’’ ungkapnya.
Bangunan yang digunakan untuk membakar sampah rencananya juga akan diperbaharui dengan menambah alat cerobong asap sehingga asap yang keluar tidak mengganggu warga lainnya.

POTRET PELUKIS JALANAN




Bangga Melukis Ariel Peterpan Secara Langsung, Penghasilan Tidak Menentu.


Menjadi Pelukis Jalanan memang bukanlah suatu pekerjaan yang bisa menjanjikan. Namun bagi Suwarno, hal tersebut bukanlah hambatan baginya untuk berkecimpung dalam dunia seni dan terus berkarya.


CukX__Mojokerto



Rabu (7/1) malam, jam menunjukkan pukul 20.00. Suasana ramai terasa di sepanjang jalan Mojopahit Kota Mojokerto. Ratusan orang terlihat berlalu lalang diantara puluhan bangunan ruko yang berdiri di sepanjang jalan menghiasi sudut Kota.
Di salah satu ruko di jalan ini, seorang pria tampak serius mengamati sebingkai kanvas yang diletakkan berdiri dengan papan selebar 70cm X 80 cm. Suwarno, begitu rekan-rekannya memanggil, terlihat tidak terpengaruh dengan hiruk pikuk sekelilingnya. Ia tetap melukis sebuah foto anak kecil yang diletakkan di sebelah kain kanvasnya.
Setiap orang yang melewatinya selalu merasa penasaran untuk memerhatikan apa yang dikerjakannya. Delapan lukisan foto berbagai ukuran terpajang diatas trotoar. Mulai dari gadis cantik, gambar penyanyi yang sedang naik daun hingga gambar pembalap motor. Inilah yang menarik perhatian pejalan kaki.
Tidak jarang ada pula yang memberanikan bertanya meskipun melihat Suwarno tampak serius melakukan pekerjaannya.
‘’Kalau foto saya minta dilukis berapa harganya mas?,’’ tanya seorang pria yang kebetulan melintas di depan ‘’galeri’’ mininya.
Meski terlihat sibuk, tidak ada sedikitpun perasaan terganggu dari benaknya. Dengan sabar ia selalu menjawab pertanyaan setiap orang yang melintas di depannya.
Pelukis jalanan yang biasa mangkal didepan sebuah toko persewaan VCD Jl.Mojopahit Kota Mojokerto ini tak menyiratkan kesan duka saat menceritakan perjalanan hidupnya. ‘’Pekerjaan ini adalah pekerjaan yang paling bisa saya kerjakan dengan tidak terbebani,’’ katanya. ‘’Bagaimana terbeban jika bekerja mencari uang sekaligus menyalurkan hobi?’’ sambungnya sambil terus melukis.
Menjadi pelukis jalanan bukanlah cita-cita Suwarno. Tapi, karena tidak memiliki dasar pendidikan yang tinggi, jalan inilah yang harus ia tempuh demi bertahan hidup. Rupanya nasib baik berpihak pada pria berusia 29 tahun ini. “Saya bersyukur bisa seperti ini sekarang. Yang penting adalah mau belajar, mau berpikiran positif, dan ikut perkembangan zaman,” katanya.
Sambil merapikan kursinya, ia menceritakan perjalanan hidupnya hingga memutuskan menjadi pelukis jalanan. ‘’ Awalnya saya memang senang menggambar sejak kecil, sewaktu masih SD, saya jarang mengikuti pelajaran karena setiap guru menjelaskan saya selalu menggambar di buku, entah itu kartun atau tokoh superhero,’’ katanya sambil tersenyum.
Bakat yang dimiliknya sejak masih kecil inipun terus diasah dengan mengikuti berbagai perlombaan. Meski tidak pernah meraih predikat juara pertama, namun lelaki yang dibesarkan di Kabupaten Blora Jawa Tengah ini merasa bangga dengan apa dianugerahkan Tuhan kepadanya. ‘’Saya sangat senang sewaktu menjadi juara harapan, memang bukan juara pertama, tapi sepertinya ada kebanggan dalam hati saya,’’ katanya. Setamat dari SMA, ia pun memiliki rencana untuk melanjutkan kuliah di ISI (Institus Seni Rupa Indonesia,Red) Yogyakarta. Namun karena keterbatasan biaya, ia hanya bisa memendam keinginannya itu. ‘’Adik-adik saya juga banyak, ada yang harus mendaftar sekolah jadinya saya harus mengalah,’’ katanya.
Karena keinginan yang tidak tercapai itulah ia memutuskan merantau ke Jakarta untuk bekerja sebagai buruh pabrik pada tahun 1997. Ditempat yang baru dikunjunginya untuk kali pertama ini, tanpa sengaja ia menjumpai komunitas seni rupa anak muda. Di perkumpulan inilah pengetahuannya semakin berkembang.
‘’Banyak teman yang bisa diajak berbagi pengetahuannya, kegiatannya memang hanya nongkrong-nongkrong saja, tapi bisa memberi manfaat,’’ katanya.
Saat itulah ia mulai mencoba untuk melukis foto. Sesekali, lukisannya dijual di tepi jalan. Kerasnya kehidupan Kota Jakarta tidak pernah membuatnya lantas pasrah dan tidak berjuang untuk apa pun. Ia bisa berkata seperti itu karena membandingkan dirinya dengan temannya sesama pelukis yang malah hidup berkesusahan.
Suwarno mulai menapaki kariernya secara serius pada tahun 2000 saat ia memutuskan pindah ke Kecamatan Krian Kabupaten Sidoarjo. Disini, ia mulai berani menjajakan hasil melukisnya di tepi jalan.’’ Saat itu melukis masih sebagai sambilan, karena saya masih bekerja,’’ katanya.
Hingga pada tahun 2004, barulah ia memutuskan menggantungkan hidupnya dari seni melukis foto dengan menawarkan jasanya di Jl.Mojopahit. Ia pun mengaku banyak tantangan yang harus dihadapi menjadi pelukis jalanan. Salah satu diantaranya adalah penghasilan yang tidak menentu.
Pelukis jalanan bukan pegawai, karyawan, ataupun buruh pabrik yang setiap bulan bisa dipastikan pendapatannya.’’ Pelukis jalanan itu adalah orang-orang mandiri yang hanya bergantung pada kemampuan melukis dan mengalirnya pesanan dari orang-orang yang membutuhkan jasa mereka,’’ katanya.
Dalam sebulan, rata-rata ia bisa mendapatkan penghasilan senilai Rp. 1 juta hingga Rp.2 Juta. Untuk menutupi kebutuhannya, ia juga menjual bingkai yang dapat digunakan sebagai tempat lukisan.
‘’Bisnis seperti ini kan sifatnya tambal sulam, kadang tiga hari tidak dapat penghasilan, besoknya dapat untuk menggantikan uang makan selama tiga hari sebelumnya,’’ ujarnya.
‘’Kalau sedang ramai, dalam sehari saya bisa melukis dua sampai empat buah lukisan, tergantung besar kecilnya,’’ katanya.para pembelinya tidak hanya dari Dalam kota saja, melainkan juga dari luar kota. ‘’Ada yang dari Nusa Tenggara Timur, Riau, Jakarta, ataupun dari Jombang,’’ kata pelukis yang mengontrak rumah di Kecamatan Gedeg Kabupaten Mojokerto ini.
Ia juga menceritakan, pernah suatu waktu lukisannya diborong oleh satu keluarga. ‘’Saya dapat untung hingga Rp. 8 Juta,’’ katanya bangga.
Untuk menyelesaikan satu lukisan, tidak banyak waktu yang digunakannya. ‘’Satu lukisan bisa selesai dalam waktu tiga jam, tapi kalau nyantai ya dua hari paling lama,’’ katanya.
Saat melukis, ia hanya menggunakan beberapa peralatan. Yakni sebuah pensil 2B, kanvas,kuas, dan konte. ‘’Konte itu serbuk berwarna hitam untuk mewarnai bagian hitam,’’ katanya.
Beberapa pengalaman menarik pun sempat ia alami saat menjadi seorang pelukis. Ia mengaku pernah suatu ketika ia mendatangi Ariel Peterpan saat konser di Madiun tanggal 18 April 2006 lalu untuk memberikan lukisan foto Ariel yang dibuatnya. ‘’Perjuangan untuk bertemu dengan dia sangat berat, saya harus melewati beberapa pengamanan, dari Hotel ataupun dari Peterpan sendiri,’’ katanya. Selama 9 jam ia terpaksa menunggu di depan Hotel Merdeka, tempat Peterpan menginap untuk memberikan dua buah lukisan.
‘’Hingga sore, saya tetap menunggu, sewaktu Ariel keluar untuk konser, saya sempat diusir,’’ katanya.
Namun rupanya keberuntungan berada dipihaknya. Disaat itu pula Ariel mendatanginya karena merasa penasaran dengan dua lukisan besar bergambar Ariel. Salah satu lukisan tersebut akhirnya diberikan secara cuma-cuma kepada Ariel. Ia pun mendapat tanda tangan Ariel di lukisan satunya.
Tidak hanya Ariel, Drumer Slank, Bimbim pun pernah diberikan lukisannya. ‘’Saya sengaja datang ke Potlot Jakarta untuk memberikan lukisan bergambar Bimbim. Akhirnya saya bisa bertemu langsung dan memberikan dua lukisan saya kepadanya,’’ katanya sambil menunjukkan foto-foto dirinya bersama personel Slank dan Peterpan

SENI BATIK , SEBUAH WARISAN KEBUDAYAAN BANGSA

Kata batik berasal dari sebuah kata dalam bahasa Jawa yaitu ambatik yang artinya kurang lebih yaitu menuliskan atau menorehkan titik-titik. Dalam proses pembuatan kain batik, seorang pengrajin batik menorehkan motif-motif indah ke selembar kain mori dengan menggunakan canthing yang berisi lilin panas. Proses membatik ini dilakukan secara hati-hati dan sering kali seorang pengrajin batik harus menorehkan serangkaian titik-titik demi memperoleh sebuah motif batik yang rumit. Alat untuk membatik ialah canting. Sebuah alat yang berbentuk seperti pulpen dan terbuat dari bambu, berkepala tembaga serta bermulut sempit pada bagian ujungnya. Canting ini dipakai untuk menyendok lilin cair yang panas, yang dipakai sebagai bahan penutup atau pelindung terhadap zat warna pada saat pewarnaan. Pada proses awal pembuatan batik, seorang pembatik menorehkan lilin di kain putih dengan menggunakan canthing. Namun sebelum dilakukan penggambaran motif dengan menorehkan lilin panas, kain mori yang akan digunakan haruslah dicelup lebih dahulu ke dalam minyak tumbuh-tumbuhan serta larutan soda, guna memudahkan lilin melekat dan agar kain bisa lebih mudah menyerap zat warna. Setiap kali kain hendak diberi warna lain, bagian-bagian yang tidak boleh kena zat warna ditutup dengan lilin, sehingga makin banyak warna yang dipakai untuk menghias kain batik, makin lama juga pekerjaan menutup itu. Pada taraf yang terakhir, lapisan lilin yang menutupi kain mori dihilangkan dengan merebus kain dalam air mendidih setelah sebelumnya direndam dalam larutan soda abu (sodium silikat) untuk mengekalkan warna pada batik. Sebagai hasil akhir adalah selembar kain batik dengan motif-motif indah yang mempesona. Tehnik membatik sebenarnya sudah berumur ribuan tahun. Beberapa orang ahli bahkan menyebut bahwa tehnik membatik mungkin berasal dari kebudayaan kuno bangsa-bangsa di Afrika, Timur Tengah (bangsa Sumeria kuno) dan beberapa bangsa kuno di Asia yang terus menyebar hingga sampai ke Indonesia. Penyebaran tehnik dan budaya membatik ini bisa sampai ke Indonesia, rupanya berkat jasa para pedagang dari India yang sempat mengunjungi daerah-daerah di Indonesia pada beberapa abad silam. Pada awalnya kain batik hanya dikenal sebatas lingkungan keraton atau kerajaan di mana kain batik semula hanya dipakai oleh kalangan bangsawan dan raja-raja. Namun seiring dengan perkembangan, maka kain batik selanjutnya dikenal luas di kalangan rakyat dan terus berkembang hingga masa sekarang. Jumlah dan jenis motif kain batik yang mencapai ribuan jenis ini mempunyai ciri khas pada masing-masing daerah di Indonesia. Walaupun terdapat jenis batik cap, namun kain batik tulis yang dibuat dan dilukis dengan menggunakan canthing masih menduduki tingkat preferensi teratas dan masih begitu diminati oleh konsumen dalam negeri maupun luar negeri. Tingkat kesulitan dan kerumitan serta jenis kain yang digunakan turut mempengaruhi harga jual. Dewasa ini kain batik tidak saja berbahan kain mori, namun juga sudah banyak dijumpai kain batik yang berbahan kain poliester, rayon, hingga sutra. Bahkan kain batik yang terbuat dari bahan sutra harganya bisa mencapai jutaan rupiah. Penyebaran Tehnik Membatik dan Seni Membatik Kesenian batik ini di Indonesia telah dikenal secara luas sejak jaman kerajaan Majapahit dan tampaknya terus berkembang dan menular kepada kerajaan-kerajaan lain di nusantara. Adapun mulai meluasnya kesenian batik ini menjadi milik rakyat Indonesia dan khususnya suku Jawa ialah setelah akhir abad ke-18 atau awal abad ke-19. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad ke-20 dan batik cap dikenal baru setelah selesainya perang dunia I atau sekitar tahun 1920-an. Bahan yang digunakan dalam pembuatan kain batik secara tradisional antara lain bahan-bahan pewarna yang terbuat dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang dibuat sendiri seperti kayu pohon mengkudu, pace, kunyit, tinggi, soga, nila, sementara bahan sodanya dibuat dari soda abu, dan garamnya dibuat dari tanah lumpur. Batik yang telah menjadi kebudayaan di kerajaan Majahit, dapat ditelusuri di daerah Mojokerto dan Tulung Agung. Mojokerto adalah daerah yang erat hubungannya dengan kerajaan Majapahit semasa dahulu dan asal nama Mojokerto ada hubungannya dengan Majapahit. Pusat kerajinan batik di Mojokerto terdapat di Kwali, Mojosari, Betero dan Sidomulyo. Daerah kerajinan batik yang terdekat dengan Mojokerto adalah di Jombang. Pada sekitar akhir abad ke-19 di Mojokerto, sudah dipakai bahan-bahan utama kerajinan batik seperti, kain putih yang ditenun sendiri dan obat-obat batik dari soga jambal, mengkudu, nila tom, tinggi dan sebagainya. Bahan kimia impor untuk pewarna batik baru dikenal setelah masa perang dunia I yang umumnya dijual oleh para pedagang Cina di Mojokerto. Batik cap kemudian dikenal bersamaan dengan masuknya obat-obat batik buatan luar negeri. Cap atau stempel motif batik (pada jenis batik cap) dulu dibuat di Bangil dan pengusaha-pengusaha batik Mojokerto dapat membelinya di pasar Porong Sidoarjo. Pasar Porong dahulu dikenal sebagai pasar yang ramai, dimana hasil-hasil produksi batik Kedung cangkring dan Jetis Sidoarjo banyak dijual. Saat terjadi krisis ekonomi dunia sebelum jaman Jepang dan saat penjajahan Jepang, pengusaha batik Mojoketo ikut lumpuh. Kegiatan pembatikan muncul lagi sesudah revolusi dimana Mojokerto sudah menjadi daerah pendudukan Jepang. Ciri khas dari batik Kalangbret dari Mojokerto adalah hampir sama dengan batik-batik keluaran Yogyakarta, yaitu dasarnya putih dan warna coraknya coklat muda dan biru tua. Sentra kerajinan batik yang dikenal sejak lebih dari seabad lalu adalah di desa Majan dan Simo. Meskipun pembatikan dikenal sejak jaman Majapahit namun perkembangan seni batik mulai menyebar pesat di daerah Jawa Tengah Surakarta dan Yogyakarta. Hal itu tampak bahwa perkembangan batik di Mojokerto dan Tulung Agung berikutnya lebih dipengaruhi corak batik Solo dan Yogyakarta. Pembuatan batik Majan ini merupakan warisan seni sejak jaman perang Diponegoro. Warna babaran batik Majan dan Simo adalah unik karena warna babarannya merah menyala (terbuat dari kulit mengkudu) dan warna lainnya dari tom. Salah satu sentra batik sejak dahulu ada di daerah desa Sembung, dimana pada akhir abad ke-19 para pengusaha batik kebanyakan berasal dari Solo yang datang di Tulungagung. Hingga sekarang masih terdapat beberapa keluarga pengrajin batik dari Solo yang menetap di daerah Sembung. Terdapat pula daerah kerajinan batik di Trenggalek dan beberapa di Kediri, walau sebagian berskala kerajinan rumah tangga dan termasuk kerajinan batik tulis. Di wilayah Jawa Timur, riwayat seni batik di daerah Ponorogo erat hubungannya dengan perkembangan agama Islam. Di daerah Tegalsari, Ponorogo, ada sebuah pesantren yang diasuh Kyai Hasan Basri atau yang dikenal dengan sebutan Kyai Agung Tegalsari. Kyai Hasan Basri ini diambil menjadi menantu oleh raja Kraton Solo. Seni batik mulai menyebar ke Tegalsari seiring dengan diboyongnya putri kraton Solo ke Tegalsari oleh Kyai Hasan Basri. Di masa itu banyak keluarga kraton Solo belajar di pesantren tersebut. Peristiwa inilah yang membawa seni batik keluar dari kraton menuju ke Ponorogo. Daerah perbatikan di Ponorogo yang bisa kita lihat hingga sekarang ialah daerah Kauman yaitu Kepatihan Wetan sekarang dan dari sini meluas ke desa-desa Ronowijoyo, Mangunsuman, Kertosari, Setono, Cokromenggalan, Kadipaten, Nologaten, Bangunsari, Cekok, Banyudono dan Ngunut. Waktu itu bahan kain batik masih memakai buatan sendiri dari tenunan gendong. Kain putih impor baru dikenal di Indonesia sekitar akhir abad ke-19. Pembuatan batik cap di Ponorogo baru dikenal setelah perang dunia pertama yang dibawa oleh seorang Cina bernama Kwee Seng dari Banyumas. Daerah Ponorogo awal abad ke-20 terkenal batiknya dalam pewarnaan nila yang tidak luntur dan itulah sebabnya pengusaha-pengusaha batik dari Banyumas dan Solo banyak memberikan pekerjaan kepada pengusaha-pengusaha batik di Ponorogo. Akibat dikenalnya batik cap maka produksi Ponorogo setelah perang dunia pertama sampai pecahnya perang dunia kedua terkenal dengan batik kasarnya yaitu batik cap mori biru. Pasaran batik cap kasar Ponorogo kemudian terkenal seluruh Indonesia. Batik Solo dan Yogyakarta pada sekitar abad 17,18 dan 19, semakin berkembang luas, khususnya di wilayah Pulau Jawa. Bahan-bahan yang dipergunakan untuk pewarnaan batik pada masa dahulu, masih memakai bahan-bahan dalam negeri seperti soga Jawa. Polanya tetap antara lain terkenal dengan “Sidomukti” dan “Sidoluruh”. Asal-usul batik di daerah Yogyakarta dikenal semenjak kerajaan Mataram ke-I dengan rajanya Panembahan Senopati. Daerah sentra batik pertama ialah di desa Plered. Kerajinan batik pada masa itu terbatas dalam lingkungan keluarga kraton yang dikerjakan oleh wanita-wanita pembantu ratu dan kemudian meluas diikuti oleh istri dari abdi dalem dan tentara-tentara. Pada upacara resmi kerajaan keluarga kraton baik pria maupun wanita memakai pakaian dengan kombinasi batik dan lurik. Akibat dari peperangan pada jaman penjajahan Belanda, maka banyak keluarga-keluarga raja yang mengungsi dan menetap di daerah baru seperti Banyumas, Pekalongan, dan ke daerah timur Ponorogo, Tulungagung dan sebagainya. Keluarga-keluarga kraton yang mengungsi inilah yang mengembangkan pembatikan ke seluruh pelosok pulau Jawa yang ada sekarang dan terus berkembang menurut kreativitas dan kekhasan budaya lokal. Kain batik khas Solo dan Yogyakarta yang mulai merambah wilayah Jawa Timur selanjutnya menyempurnakan corak batik yang telah ada di Mojokerto serta Tulung Agung. Terus menyebar ke Gresik, Surabaya dan Madura. Di wilayah Jawa Barat, batik berkembang di Banyumas, Pekalongan, Tegal, Cirebon. Perkembangan batik di Banyumas berpusat di daerah Sokaraja dibawa oleh pengikut-pengikut Pangeran Diponegoro setelah selesainya peperangan tahun 1830 yang kemudian mengembangkan batik celup di Sokaraja. Bahan mori yang dipakai hasil tenunan sendiri dan obat pewarna dipakai pohon tom, pohon pace dan mengkudu yang memberi warna merah bersemu kuning. Tehnik membatik kemudian ditularkan pada rakyat Sokaraja dan pada sekitar akhir abad ke-19 para pembatik di wilayah ini sudah menjalin hubungan dagang dengan para pembatik dari daerah Solo dan Ponorogo. Setelah perang dunia kesatu pembatikan mulai pula dikerjakan oleh warga keturunan Cina yang juga berdagang batik. Selanjutnya seni batik mulai berkembang di daerah pesisir pantai, selain di daerah Pekalongan sendiri, yaitu tumbuh pesat di Buawaran, Pekajangan dan Wonopringgo. Adanya pembatikan di daerah-daerah ini hampir bersamaan dengan pembatikan daerah-daerah lainnya yaitu sekitar abad ke-19. Perkembangan seni dan tehnik membatik keluar dari wilayah Yogyakarta dan Solo selanjutnya semakin meluas. Sampai awal abad ke-20 kegiatan seni batik yang dikenal ialah batik tulis dengan bahan morinya buatan dalam negeri dan juga sebagian impor. Batik cap baru dikenal setelah masa perang dunia I dan mulai banyak dipakai obat dan bahan kimia untuk batik buatan Jerman dan Inggris. Pada sekitar awal abad ke-20, di Pekajangan terdapat usaha tenun yang menghasilkan stagen dan benangnya dipintal sendiri secara sederhana. Tak lama kemudian seni batik pun mulai dikerjakan oleh para pekerja yang semula bekerja di sektor kerajinan tenun ini. Banyak tenaga kerja pabrik gula di Wonopringgo dan Tirto beralih pekerjaan ke perusahaan-perusahaan batik, karena upahnya lebih tinggi dari pabrik gula. Seni batik mulai dikenal di Tegal pada akhir abad ke-19. Pewarna yang dipakai waktu itu buatan sendiri yang diambil dari tumbuh-tumbuhan pace/mengkudu, nila, soga kayu dan kainnya adalah hasil tenunan sendiri. Warna batik Tegal pertama kali ialah sogan dan babaran abu-abu setelah dikenal nila pabrik, dan kemudian berkembang menjadi warna merah-biru. Batik asal Tegal saat itu sudah mulai merambah Jawa Barat dan para pedagang inilah yang konon mengembangkan kerajinan batik di Tasik dan Ciamis. Pada awal abad ke-20 sudah dikenal mori impor dan bahan kimia impor untuk pembuatan batik. Pengusaha-pengusaha batik di Tegal masa itu lemah dalam permodalan dan bahan baku didapat dari pedagang keturunan Cina di Pekalongan dengan cara kredit dan batiknya dijual pada yang memberikan kredit bahan baku tersebut. Perkembangan kerajinan batik di Kebumen lebih cepat daripada di Purworejo. Produksinya sama pula dengan Yogya dan daerah Banyumas lainnya. Sedangkan di daerah Bayat, Kecamatan Tembayat Kebumen, yang letaknya lebih kurang 21 Km sebelah Timur kota Klaten. Seni batik di desa Bayat sudah ada sejak jaman dahulu. Pengusaha-pengusaha batik di Bayat tadinya kebanyakan dari kerajinan dan buruh batik di Solo. Seni batik di Kebumen dikenal sekitar abad ke-19 dengan dibawa oleh pedagang Islam dari Yogya yang mengembangkan batik di Kebumen. Proses batik pertama di Kebumen dinamakan tengabang atau blambangan dan selanjutnya proses terakhir dikerjakan di Banyumas/Solo. Sekitar awal abad ke-20 untuk membuat polanya digunakan kunyit yang capnya terbuat dari kayu. Motif-motif Kebumen ialah pohon-pohon, burung-burungan. Bahan pewarna yang digunakan berasal dari pohon mengkudu dan nila tom. Pemakaian bahan kimia impor untuk pembuatan batik di Kebumen dikenal sekitar tahun 1920 yang diperkenalkan oleh pegawai Bank Rakyat Indonesia. Pemakaian cap dari tembaga dikenal sekitar tahun 1930 yang dibawa oleh Purnomo dari Yogyakarta. Daerah pembatikan di Kebumen ialah desa: Watugarut, Tanurekso yang banyak dan ada beberapa desa lainnya. Seni batik di daerah Tasikmalaya diduga dikenal sejak jaman kerajaan “Tarumanagara” dimana peninggalan yang ada sekarang ialah banyaknya pohon tarum di sana yang berguna untuk pembuatan batik waktu itu. Desa peninggalan yang sekarang masih ada pembatikan ialah Wurug terkenal dengan batik kerajinannya, Sukapura, Mangunraja, Maronjaya dan Tasikmalaya kota. Dahulu pusat dari pemerintahan dan keramaian yang terkenal ialah desa Sukapura, Indihiang yang terletak di pinggir kota Tasikmalaya sekarang. Produksi batik Tasikmalaya sekarang adalah campuran dari batik-batik asal Pekalongan, Tegal, Banyumas, Kudus yang beraneka pola dan warna. Pembatikan dikenal di Ciamis sekitar abad ke-19 setelah selesainya peperangan Diponegoro, dimana pengikut-pengikut Diponegoro banyak yang meninggalkan Yogyakarta, menuju ke selatan. Sebagian ada yang menetap didaerah Banyumas dan sebagian ada yang meneruskan perjalanan ke selatan dan menetap di Ciamis dan Tasikmalaya sekarang. Motif batik Ciamis adalah campuran dari batik Jawa Tengah dan pengaruh motif dan warna dari Garut. Sampai awal-awal abad ke-20 pembatikan di Ciamis berkembang sedikit demi sedikit, dari kebutuhan sendiri menjadi produksi pasaran. Sedang di daerah Cirebon batik ada kaitannya dengan kerajaan yang ada di daerah ini, yaitu Kanoman, Kasepuhan dan Keprabonan. Ciri khas batik Cirebon sebagaian besar bermotifkan gambar lambang hutan dan margasatwa. Motif laut yang kemudian muncul banyak dipengaruhi oleh budaya Cina, dimana kesultanan Cirebon dahulu pernah menyunting putri Cina. Batik Cirebonan yang bergambar garuda banyak dipengaruhi oleh motif batik Yogya dan Solo. Di Jakarta, seni batik dikenal dan berkembang bersamaan dengan daerah-daerah sentra batik lainnya yaitu kira-kira akhir abad ke-19. Seni batik dibawa oleh pendatang-pendatang dari Jawa Tengah dan mereka bertempat tinggal di daerah sentra batik. Daerah sentra batik di Jakarta tersebar dekat Tanah Abang yaitu: Karet, Bendungan Hilir dan Udik, Kebayoran Lama, dan daerah Mampang Prapatan serta Tebet. Jakarta sejak jaman sebelum perang dunia kesatu telah menjadi pusat perdagangan antar daerah Indonesia dengan pelabuhan Pasar Ikan sekarang. Setelah perang dunia kesatu selesai, produksi batik meningkat dan pedagang-pedagang batik mencari daerah pemasaran baru. Pedagang-pedagang batik yang banyak ialah bangsa warga keturunan Cina dan Arab, selain sejumlah kecil penduduk lokal. Batik Jakarta sebelum perang terkenal dengan batik kasarnya, dengan warnanya yang sama dengan batik Banyumas. Batik kemudian berkembang ke seluruh penjuru kota-kota besar di Indonesia yang ada di luar Jawa, seperti daerah Sumatera Barat misalnya, khususnya daerah Padang. Sumatera Barat termasuk daerah konsumen batik sejak zaman sebelum perang dunia kesatu, terutama batik-batik produksi Pekalongan dan Solo serta Yogya. Di Sumatera Barat yang berkembang terlebih dahulu adalah industri tenun tangan yang terkenal “tenun Silungkang” dan “tenun plekat”. Batik cap mulai berkembang di jaman penjajahan Belanda saat jumlah permintaan akan batik tulis semakin meningkat dan cenderung kewalahan untuk dipenuhi. Bahan pewarna batik umumnya dari tumbuh-tumbuhan seperti mengkudu, kunyit, gambir, damar dan sebagainya. Bahan kain putihnya diambilkan dari kain putih bekas dan hasil tenun tangan. Perusahaan batik pertama muncul yaitu daerah Sampan Kabupaten Padang Pariaman tahun 1946 antara lain: Bagindo Idris, Sidi Ali, Sidi Zakaria, Sutan Salim, Sutan Sjamsudin dan di Payakumbuh sekitar 1948, yaitu Waslim (asal Pekalongan) dan Sutan Razab. Warna batik tulis dari Padang kebanyakan hitam, kuning dan merah ungu serta polanya Banyumasan, Indramayu-an, Solo dan Yogya. Sekarang batik produksi Padang sudah berkembang lebih maju walau masih belum bersaing sebaik kain batik buatan Jawa. Batik cap yang ada kebanyakan berupa sarung. Seni batik dari waktu ke waktu terus menyebar ke berbagai pelosok daerah di Indonesia seperti Bali, dan banyak daerah lain dengan warna-warna beragam mulai dari warna hijau, kuning, merah, biru, putih dan coklat. Melestarikan Seni Budaya Batik di Indonesia Kain batik merupakan kekayaan budaya Indonesia yang tidak boleh ditinggalkan begitu saja. Sebenarnya sangat disayangkan bahwa saat ini batik tradisional khas Indonesia masih sulit untuk dipatenkan, padahal jumlah dan jenis kain batik dari tiap daerah di Indonesia kalau dihitung bisa mencapai ribuan jenis. Ragam dan corak motif yang khas dari tiap daerah merupakan sebuah kekayaan budaya yang patut senantiasa dilestarikan. Sebagai contoh, batik pesisir umumnya memiliki corak maskulin seperti pada corak “Mega Mendung”, karena di beberapa daerah pesisir pekerjaan membatik adalah lazim bagi kaum lelaki. Ragam corak dan warna batik sedikit banyak juga dipengaruhi pula oleh berbagai pengaruh asing. Misalnya saja pada daerah-daerah pesisir pantai, corak kain batik menyerap berbagai pengaruh budaya luar yang dibawa para pedagang asing. Warna-warna cerah seperti merah yang mulanya dipopulerkan oleh orang Tionghoa, yang juga mempopulerkan corak burung phoenix, akhirnya juga diadaptasi ke dalam motif dan corak batik pesisir, misalnya saja batik Madura, yang sering kali diwarnai dengan warna merah, hitam, hijau, dan putih serta dihiasi oleh berbagai motif bunga-bungaan dan motif gambar burung. Batik khas Madura umumnya banyak digunakan sebagai sarung, walaupun ada beberapa yang khusus didesain untuk kemeja resmi pesta. Pusat-pusat kerajinan batik dan perdagangan batik di Madura adalah di Pamekasan dan Bangkalan. Pedagang batik di Madura umumnya adalah warga keturunan Arab selain warga lokal yang memegang teguh budaya Madura dalam kehidupan sehari-hari. Bangsa penjajah Eropa yang juga mengambil minat kepada batik, memberikan pengaruh besar dalam motif dan corak batik khas Indonesia, seperti motif bunga-bungaan (bunga tulip) dan aneka motif benda lain, termasuk pula warna-warna asing seperti warna biru yang mulai banyak dijumpai dalam batik-batik Indonesia. Berbagai corak batik kuno khas era penjajahan Belanda maupun batik modern buatan Indonesia bisa disaksikan di Tropenmuseum, Amsterdam, Belanda. Tampaknya kekayaan intelektual bangsa Indonesia berupa motif-motif batik tradisional, yang ribuan macam dan jenisnya ini, hari demi hari semakin banyak dijiplak dan ditiru oleh para pengrajin dari negara-negara lain demi kepentingan ekonomi. Bila pemerintah dan para pengrajin batik mau berusaha bersama-sama untuk berusaha lebih keras mendaftar setiap jenis motif dan kekhasan batik tradisional untuk dipatenkan secara internasional, maka hal ini jelas akan merupakan sebuah peluang yang baik bagi berkembangnya bisnis batik berpangsa pasar internasional. Museum batik yang ada di Belanda, yaitu Tropenmuseum yang mengkoleksi ribuan jenis kain batik, selalu saja dipadati oleh pengunjung, dan ini juga berarti sarana promosi yang efektif dalam mempopulerkan tradisi busana batik khas Indonesia di tingkat internasional. Pameran batik di luar negeri, terutama di negeri Belanda senantiasa banyak diminati pengunjung. Bahkan publikasi pameran batik di Belanda sering dimuat di majalah-majalah seperti majalah Round About dan majalah Moesson, yang tidak hanya terbit di Belanda, namun juga terbit di seluruh Eropa, Amerika, dan Australia. Batik khas Indonesia bahkan pernah diliput oleh majalah Island, Amerika. Acara peragaan busana batik Indonesia juga pernah ditayangkan oleh Fashion TV, sebuah televisi Perancis yang mengkhususkan diri pada penayangan peragaan busana dari berbagai negara. Sungguh sayang bila berbagai kesempatan yang ada kita lewatkan begitu saja. Mari kita giatkan industri batik di tanah air!

JEJAK KAUM ETNIS TIONGHOA DI PULAU JAWA DALAM PENYEBARAN AGAMA ISLAM

MENCARI JEJAK DAKWAH ETNIS
TIONGHOA DI JAWA ABAD 15-16
MASEHI
Oleh : YOSI K

PENGANTAR
Kiprah etnis Tionghoa di Indonesia menonjol dalam bidang ekonomi hingga kini.
Hal itu tentu tidak tertutup kemungkinan bahwa mereka juga punya peran pada
bidang yang lain, seperti agama dan kepercayaan. Khusus untuk bidang agama,
terutama kemungkinan mereka memiliki kiprah di bidang dakwah Islam
didasarkan pada pemikiran bahwa sepanjang dapat ditemukan masyarakat Islam
di kalangan mereka, maka tentu dapat diasumsikan ada gerakan dakwah oleh dan
kepada mereka. Hal itu disebabkan, kegiatan dakwah dapat difikirkan sebagai
kegiatan yang melekat dengan pelaksanaan ajaran Islam. Dakwah adalah
pengamalan ajaran Islam yang bertujuan mempengaruhi orang lain.
Dalam makalah ini, penulis berusaha menggambarkan beberapa hal tentang dakwah
mereka di Jawa pada masa awal kehadiran mereka di sana. Periode itu ada yang
menyebutnya sebagai zaman Cheng Ho dan ada pula yang menyebut periode
generasi pertama Muslim Tionghoa di Jawa. Makalah ini akan lebih
menitikberatkan pada deskripsi seorang dai Tionghoa yang bernama Bong Swi Ho.
Untuk melakukan rekonstruksi terkait dengan tujuan itu, penulis mendasarkan
sumber utamanya pada Catatan Tahunan Melayu. Catatan tahunan Melayu adalah
hasil penelitian Poortman terhadap tulisan-tulisan atau dokumen yang tersimpan di
kelenteng Sam Po Kong di Semarang dan kelenteng Talang di Cirebon. Penelitian
Poortman itu dimaksudkan mencari klarifikasi mengenai Panembahan Jin Bun atau
Radebn patah.
Pada tahun 1964 Catatan itu disunting dan dikomentari oleh Ir. Manggaradja
Onggan Parlindungan dan disebutkan dalam lampiran legenda Sumatra, sebagai
bahan kajian untuk bukunya yang berjudul �Tuanku Rao�. Pada tahun 1968,
catatan tahunan itu dipakai oleh Mr. Slamet Muljana sebagai sumber utama dalam
bukunya tentang munculnya negara-negara Islam di Indonesia. Buku karya Slamet
Mulyana berjudul Runtuhnya Kerajaan Hindu Djawa dan Timbulnya Negaranegara
Islam di Nusantara yang pada tahun 1971 dilarang beredar di Indonesia.
Pada tahun 1984, H.J. De Graaf dan th. G Pigeaud menyusun buku tentang Muslim
Cina di Jawa pada abad 15-16 M. Di antara sumber yang dipakai adalah Catatan
Tahunan Melayu seperti disunting oleh Parlindungan. Terhadap Catatan itu H.J.
De Graaf dan th. G Pigeaud melakukan analisis perbandingan dengan tiga sumber
utama sejarah Jawa yaitu (1) Catatan Pengembara Portugal, Tom Pires, (2) Catatan-
Catatan dokumenter Cina Daratan dan (3) Babad Tanah Jawa.
Menurut beberapa peneliti, seperti Denys Lombard, MC. Ricklefs, Liem Ek Hian
dan Leonard Blusse, naskah asli yang dipakai oleh Poortman tidak ditemukan,
demikian juga hasil penelitian Poortman yang konon dicetak tidak lebih dari 5
eksemplar dinyatakan hilang. Dengan kenyataan itu, beberapa ahli menyatakan
bahwa �Naskah Poortman� itu �hanya bikinan Ir Parlindungan saja�. Dalam banyak
hal, makalah ini disusun dengan mengacu pada buku karya H.J. De Graaf dan th. G
Pigeaud serta laporan penelitian Poortman. Laporan penelitian Poortman disebut
dengan Catatan Tahunan Melayu yang dipakai dalam penelitian ini dikutip dari
lampiran dalam karya tulisnya Ir. Manggaradja Onggan Parlindungan.
KEHADIRAN TIONGHOA
Dilihat dari agama yang dipeluk, awal kehadiran Tionghoa di Jawa berhubungan
dengan pembentukan pertama masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia. Menurut
Catatan Greif, kehadiran mereka berlangsung bersamaan waktunya dengan
kekacauan yang melanda pusat pemerintahan di Tiongkok. Dinasti Manchu yang
menggantikan pemerintah sebelumnya menjadi salah satu pemicu perpindahan
penduduk Tiongkok ke luar daerah, diantaranya ke Jawa. Di bawah kekuasaan
Dinasti Manchu (1644-1912 M) masyarakat Islam Tiongkok mengalami penindasan
dari pemerintah. Dengan demikian, Greif agaknya sedang menyebutkan, etnis
Tionghoa yang datang ke Jawa itu kemungkinan besar beragama Islam, yaitu agama
yang secara resmi dinyatakan pertama kali datang ke Tiongkok pada masa
pemerintahan Yong Hui dari dinasti Tang (649-651).
Lebih tua dari tahun yang dperkirakan dari pendapat Greif tersebut, ada sumber
sejarah yang melaporkan kesan-kesan terhadap masyarakat Tionghoa Islam pertama
di Jawa. Sumber yang dimaksud adalah buku laporan perjalanan laksamana Ceng Ho
antara lain ke Jawa yang selesai ditulis tahun 1416 M oleh Haji Ma Huan, sekretaris
dan juru bicara Ceng Ho. Laporan itu kemudian disempurnakan dengan
pengurangan dan penambahan seusai dua pelayaran berikutnya. Dengan
memperhatikan tahun penulisan itu, maka dapat di duga sebelum tahun 1416, di
Jawa telah ada masyarakat Tionghoa memeluk agama Islam, jauh sebelum tahun
yang diperoleh dari Catatan Greif. (1600-an Masehi).
Berkaitan dengan hal itu, sejumlah batu nisan yang terletak di komplek pemakaman
Islam di Tralaya, berada di sebelah selatan kawasan bekas tempat keraton Majapahit,
dapat membantu sedikit penelusuran tahun tertua pembentukan awal masyarakat
Tionghoa Muslim. Seperti dilaporkan oleh L.Ch. Darmais yang dikutip Amen
Budiman, di kawasan tersebut, ada sejumlah batu nisan yang memakai tahun Saka
dan sebuah di antaranya memakai tahun Arab. Batu-batu nisan yang memakai tahun
Saka itu menggunakan hiasan ayat-ayat al-Qur�an dan rumus-rumus ibadah,
sedangkan yang memakai tahun Hijriyah mempunyai sebuah inskrispi yang
menyebutkan nama Zaenudin. Sebuah batu nisan yang memakai tahun Saka di
kawasan itu memiliki titi mangsa tahun 1533 Saka yang bertepatan dengan tahun
1611 M. Selain itu, batu-batu nisan memiliki titi mangsa yang berkisar antara tahun
1298 sampai tahun 1397 Saka yang bertepatan dengan tahun 1376-1475 Masehi,
termasuk batu nisan yang memakai tahun Arab yang berasal dari tahun 874 H, yang
bertepatan dengan tahun 1391-1392 Saka atau tahun 1469-1470 M.
Dari batu-batu nisan itu dapat diperkirakan sejumlah informasi sejarah, bahwa
waktu kerajaan Majapahit berada dalam puncak kejayaannya pada masa
pemerintahan Hayam Wuruk (1350-1389 M), di kawasan kerajaan itu dapat
ditemukan masyarakat Islam. Demikian juga halnya waktu Haji Ma Huan
mengunjungi daerah Jawa, ada beberapa kemungkinan informasi sejarah yang dapat
dikemukakan sebagai berikut. Ada kemungkinan sebagian dari masyarakat Islam
yang bermukim di sekitar keraton Majapahit berasal dari etnis Tionghoa. Hal itu
terhimpun dari laporan Haji Ma Huan ketika dia melihat dari dekat keadaan
masyarakat Islam Tionghoa di Jawa Timur. Menurut Haji Ma Huan, di Majapahit
terdapat lebih dari seribu keluarga bangsa asing. Sebagian besar dari mereka adalah
orang Tionghoa yang berasal dari pusat kerajaan Tiongkok. Mereka berasal dari
dinasti Tang, yang berasal dari propinsi Kanton, Zhangzhou, Qhuanzhau dan
daerah-daerah lain yang telah melarikan diri dari daerah mereka. Banyak diantara
mereka telah memeluk agama Islam.
Dalam kontaknya dengan masyarakat pribumi, menurut beberapa kesaksian orangorang
Eropa, kehadiran masyarakat Tionghoa dapat diterima dengan baik oleh
masyarakat pribumi di Jawa pada umumnya. Tome Pires termasuk mereka yang
pertama-tama memberitakan hal tersebut. Dalam salah satu tulisannya yang dibuat
kira-kira tahun 1544, Tome Pires menyebutkan bahwa kepulauan Maluku telah
lama memiliki hubungan dengan orang-orang Tionghoa. Kehadiran mereka sejak
zaman kuno telah dikenali dari gaya rumahnya dan dari kepeng Cina sebagai mata
uang.
Adapun Diego de Couto mencatat, banyak orang menegaskan bahwa orang Jawa
adalah keturunan Tionghoa. Kesaksian yang sama dikemukakan dalam salah satu
tulisan yang dibuat Edmund Scott. Penulis tersebut terakhir selama dua tahun
(antara 1603 sampai 1605 M) tinggal di Loji Inggris di Banten. Setelah melukiskan
sebuah perayaan besar di kota, ia mengakhirinya dengan pernyataan bahwa perayaan
itu dan semacamnya telah diajarkan oleh orang-orang Tionghoa sejak zaman kuno.
Wounter Schouten yang berada di Hindia selama kwartal ketiga abad ke-tujuh belas
menulis bahwa orang-orang Jawa merasa senang menyatakan diri sebagai keturunan
Tionghoa. Kebanggaan sebagai keturunan Tionghoa itu juga dilaporkan oleh Abbe
De Raynal yang disebut oleh Denys Lombard sebagai salah seorang penulis yang
memberikan kesaksian tentang keharmonisan hubungan social yang terjalin antara
orang-orang Jawa dengan Tionghoa.
Terlepas dari kesaksian-kesaksian itu, suatu keyataaan dapat ditegaskan bahwa aktor
agama cukup penting memainkan peran dalam proses pembauran itu. Dalam kasus
Tionghoa di Jawa ini, faktor agama dimaksud adalah Islam, karena seperti tersimpul
dari uraian di atas, Tionghoa yang datang itu beragama Islam. Di Jawa mereka
tinggal dan menetap di pelabuhan pesisir sebelah Timur, seperti Tuban, Gresik dan
Surabaya. Di samping itu, ditemukan pula masyarakat Tionghoa Islam pada masa
lalu yang menetap di Demak, Cirebon, Lasem, Banten dan Semarang.
Di Tuban mereka merupakan sebagian besar dari penduduk yang menurut taksiran
mencapai �seribu keluarga lebih�. Demikian juga di Gresik, ketika Cheng Ho
singgah, mereka ada sekitar �seribu keluarga�. Di Surabaya sejumlah besar
penduduknya juga orang Tionghoa. Tentang pusat kegiatan dakwah Tionghoa,
Catatan tahunan Melayu beberapa kali menyebutkan daerah Jiao Tung. Istilah itu
mungkin dari kata Cina dari daratan, suatu nama yang ditemukan di selatan
pelabuhan Gresik dan sebelah utara Surabaya. Kata yang disebut-sebut tidak muncul
dalam buku-buku cerita Jawa, namun ada kecocokan dengan laporan Belanda.
MADZHAB MUSLIM TIONGHOA
Masyarakat Tionghoa Muslim generasi pertama itu dilaporkan oleh Catatan
Tahunan Melayu bermadzhab Hanafi. Kutipan berikut menyatakan hal itu :
1411-1416
Muslim/Hanafi Chinese Communities dibentuk pula di Semenanjung Malaya,
di Pulau Djawa dan di Filipina. Di Pulau Djawa didirikan masjid-masjid di
Antjol/Djakarta, Sembung/Tjirebon, Lasem, Tuban, Tse Tsun/Gresik,
Djaotung/Djoratan, Tjangki/Mojokerto dan lain-lain lagi
Fakta tentang kepengikutan mereka pada madzhab Hanafi itu didukung oleh
beberapa sejarawan. Dalam salah satu bukunya, Dabri de Thiersant, seperti dikutip
De Graaf dan Pigeaud menyatakan bahwa di antara empat madzhab Sunni yang
paling terkenal adalah madzhab Abu Hanifah. Mayoritas muslim Tionghoa
tampaknya menganut madzhab ini, akan tetapi sebenarnya mereka merupkan sekte
baru. M. Rafiq Khan dari Akademi Nasional, New Delhi menegaskan dalam salah
satu bukunya �Mereka (muslim Cina Tionghoa, pen) menamakan diri mereka
sebagai orang Hanafi, dan di antara madzhab Sunni, mereka hanya mengikuti Imam
Hanafi. Mereka tidak mengenal Syi�ah dan Sunni�.
Catatan tahunan itu menyebutkan bahwa Dinasti Ming di Tiongkok telah menjalin
hubungan dakwah dengan Jawa. Jalinan itu tercermin pada apa yang disebutnya
sebagai pengiriman beberapa dai yang bertugas menangani perkembangan
masyarakat muslim Tionghoa bermadzhab Hanafi, dengan mengambil Campa
sebagai pusatnya. Di Campa ditempatkan dai yang bernama Bong Tak Keng. Ia
menugaskan H.Gan Eng Cu untuk membina masyarakat muslim Hanafi di Manila.
Pada 1423, H.Gan Eng Cu dipindah ke Tuban untuk tugas yang sama di Jawa,
Kokang (Palembang), dan Sambas (Kalimantan).
Adanya jalinan hubungan Jawa dengan Tiongkok itu dibenarkan pula oleh kajian
lain. Denis Lombard menyebutkan bahwa dari tahun 1370 sampai akhir abad ke-15,
sejarah Dinasti Ming menyebutkan tidak kurang dari 43 duta kerajaan ke Jawa.
Sebanyak 41 duta kerajaan di antaranya melakukan kunjungan ke Jawa sepanjang
jangka waktu kira-kira satu abad, dari 1370 sampai 1465. Jalinan hubungan itu
terjadi dalam bidang perdagangan. Pada tingkat diplomasi, hubungan Tiongkok-
Jawa senantiasa cukup baik selama kurun waktu tersebut di atas. Kira-kira tahun
1410, keraton Cina (Tionghoa, pen) dengan resmi memihak Jawa ketika terjadi
konflik antara Jawa dengan Malaka yang menuntut kedaulatan atas Palembang.
Keraton Tionghoa mengirim sepucuk surat yang mengandung keputusan untuk
memihak kepada penguasa Majapahit.
Dalam laporan Catatan Tahunan, hubungan baik itu berlangsung pada paruh
pertama abad 15 dan dilaporkan berakhir pada pertengahan abad tersebut. Tandatanda
terputusnya hubungan itu terjadi berkaitan dengan kemerosotan reputasi
Dinasti Ming di Tiongkok. Hal itupun tidak berarti ada indikasi keretakan
hubungan apalagi konflik antara Jawa dan Tiongkok. Meski tahun-tahun tersebut
misalnya, agaknya bisa diperdebatkan, namun akibat dari itu terhadap kegiatan
dakwah mereka di Jawa lebih menarik perhatian. Salah satu akibat yang dimaksud
adalah keterputusan hubungan dakwah antara Tiongkok dengan komunitas Muslim
Tionghoa di Jawa. Komunitas muslim Tionghoa di Jawa semakin terpuruk dan
terisolasi seiring dengan upaya-upaya tertentu yang dilakukan oleh orang-orang
Eropa pada abad 16, 17 dan 18.
Orang-orang Eropa pada abad-abad tersebut gencar berupaya memisahkan
hubungan social antara muslim Tionghoa di Jawa dengan masyarakat pribumi
pada umumnya. Orang-orang Eropa menyebarluaskan isu yang kurang lebih
berdampak pada munculnya persepsi yang menganggap muslim Tionghoa di Jawa
sebagai �orang asing timur�. Dilaporkan, pada abad 18, masyarakat Tionghoa
peranakan di Batavia minta ijin jika hendak membangun masjidnya sendiri.
Selanjutnya terkait dengan identitas diri masyarakat pribumi yang berkembang
waktu itu, seperti kebanggaan mereka dengan mengidentifikasikan diri sebagai
keturunan Tionghoa di kalangan orang-orang Jawa yang pernah terjadi pada abad
15 dan 19, berhasil semakin dipudarkan oleh orang-orang Eropa.
Masih berkaitan dengan keterputusan dengan masyarakat Muslim Tiongkok,
masyarakat Muslim Tionghoa di Jawa pada perkembangan selanjutnya mengambil
keputusan lain. Bong Swi Hoo sebagai salah satu dai Tionghoa mengambil inisiatif
untuk merubah strategi dakwahnya. Semula dia berdakwah hanya kepada sesame
etnis Tionghoa. Dengan perubahan konstelasi politik di Tiongkok khususnya yang
berdampak pada keterputusan hubungan antara Tiongkok dengan Jawa, maka Bong
Swi Hoo mengembangkan obyek dakwahnya disamping pada etnis Tionghoa juga
mengikutsertakan etnis lain sebagai bagian dari obyek dakwahnya, yaitu masyarakat
muslim Jawa. Bahkan lebih dari itu, dakwah Bong Swi Hoo sering juga
menggunakan bahasa Jawa. Penggunaan bahasa Jawa sebagai bahasa dakwah Bong
Swi Hoo menarik untuk dicermati. Sedikitnya, pembauran etnis Tionghoa dan
Jawa telah berjalan dengan baik. Di samping itu, dia juga melakukan peralihan
madzhab dari Hanafiyah ke madzhab Islam Syafi�i. Namun demikian, kiranya perlu
segera ditegaskan, madzhab Hanafi yang dimaksud berbeda dengan madzhab Syafi�i
hanya dalam aspek peribadatan ritual semata. Orang-orang Hanafi menggunakan
bahasa Cina dalam ibadah ritualnya (salatnya) sementara orang-orang Syafi�i
menggunakan bahasa Arab.
BONG SWI HOO
Keberadaan tokoh Bong Swi Ho di Jawa bisa ditemukan hubungannya dengan
penempatan beberapa nama pegawai utusan dinasti Ming ke wilayah kepualauan
Selatan. Nama-nama pegawai Muslim Tionghoa itu adalah Hok Tak Keng, Gan
Eng Cu dan Ma Hong Fu. Mang Hong Fu adalah Muslim Tionghoa yang bertugas
sebagai duta muslim Tiongkok di Keraton Majapahit selama masa kekuasaan Ratu
Suhita. Dia menikah dengan putri Bong Tak Keng (muslim Tiongoa yang
ditugaskan di Campa). Sedangkan Bok Tak Keng tidak lain adalah kakek Bong Swi
Hoo. Adapun Gang Eng Cu yang semula bertugas di Manila, oleh Bong Tak Keng
dipindah ke Tuban.
Ki Ageng Manila, anak Gan Eng Cu menikah dengan Bong Swi Hoo. Gan Eng Cu
adalah mertua Bong Swi Hoo. Selanjutnya dilaporkan dalam Babad Tanah Jawa,
saudara dan keponakan Bong Swi Hoo yang bernama Raden Santri dan Burereh
menikah dengan putri-putri penguasa aristokrat lama (Arya Teja).
Jalinan perkawinan itu menarik perhatian, karena punya nilai strategis bagi
pengembangan dakwah Islam di Jawa. Di samping itu, berita pernikahan semacam
itu disebut dalam Babad Tanah Jawa (Walisana) ketika memberitakan Sunan Ampel
(Raden Rahmat), Sunan Giri (Sunan Gresik) dan Raden Alim Abu Hurairah (Sunan
Majagung). Berita tentang Bong Tak Keng juga ada kecocokan dengan laporan dari
tradisi Jawa mengenai Raden Rahmat sebagai keponakan putri Campa. Bong Tak
Keng dari Campa dan seorang ulama yang bernama Makdum Ibrahim Asmara,
suami dari seorang putri Campa dan yang disebut oleh tradisi Jawa sebagai ayah
Raden Rakhmat, bisa jadi adalah ayah dan anak. Adanya kecocokan-kecocokan
tersebut, boleh jadi dapat menjadi dasar untuk dapat menerima suatu pendapat yang
menegaskan bahwa Bong Swi Hoo adalah Raden Rahmad (Sunan Ampel).
DAKWAH BONG SWI HOO
Buku-buku Cerita Jawa dan Catatan tahunan Melayu sama ketika menyebut asalusul
Bong Swi Hoo, yaitu Campa. Ada perbedaan antara keduanya, antara lain
dalam hal tempat pembinaan agama yang diperoleh sebelum pergi ke Jawa. Catatan
tahunan Melayu melaporkan Bong Swi Hoo tinggal di Kukang (Palembang)
sebelum pergi ke Jawa. Di kota itu ia membantu Swan Liong (Arya Damar), pejabat
Muslim kerajaan Majapahit yang tinggal di sana dalam bidang dakwah. Hubungan
kemitraan dalam bidang dakwah itu dalam kenyataannya dapat dipikirkan sebagai
suatu upaya pembekalan atau pendampingan sebelum akhirnya berkiprah secara
mandiri dalam kegiatan dakwah di Jawa.
Pembekalan bidang dakwah yang diperoleh dari Swan Liong itu tidak disebut dalam
buku-buku cerita Jawa, meskipun tradisi Jawa tidak menolak ada hubungan antara
Bong Swi Hoo dengan Swan Liong. Sebelumnya, ia telah mendapatkan semacam
pembekalan dakwah dari ayahnya sendiri di Campa, Maulana Ibrahim.
Kedatangannya dari Campa ke Jawa disertai dengan saudara dan keponakannya,
tanpa melakukan persinggahan ke Palembang.
Di Jawa dia menemui Gan Eng Cu (yang dalam Walisana diidentikkan dengan Arya
Teja). Pada saat yang telah ditentukan, perkawinannya dengan putri Gan Eng Cu
dilngsungkan. Kemudian Bong Swi Hoo, saudara dan keponakannya memperoleh
wilayah-wilayah tertentu sebagai wilayah dakwahnya. Wilayah dakwah Bong Swi
Hoo di Surabaya, Raden Ali memperoleh wilayah di Gresik, sedang Burereh di
Majagung (Cirebon). Catatan Tahunan Melayu tentang dakwah Bong Swi Hoo
menceritakan peranannya dalam mendirikan masyarakat muslim syafi�iyah di
Surabaya samapai meninggal dunia (1478), tanpa diceritakan dengan jelas peralihan
Bong Swi Hoo dari madzhab Hanafi ke madzhan Syafi�i. Catatan itu menekankan
pada perkembangan Islam di daerah-daerah pantai Surabaya, Semarang dan Demak.
Hal itu agaknya hendak menginformasikan perihal perkembangan simbiosis antara
orang Jawa dengan Tionghoa dengan dasar agama yang sama, yaitu Islam.
Dengan uraian di atas, nampak bahwa Catatan Tahunan Melayu memuji Bong Swi
Hoo sebagai dai Islam yang paling berpengaruh di kalangan penduduk Jawa Timur.
Ia dipandang orang pertama di antara dai Tionghoa yang menggunakan bahasa Jawa
dalam kegiatan dakwah. Namun agaknya pantas dicatat bahwa Bong Swi Hoo
punya pengaruh cukup penting dalam lingkungan masyarakat muslim Tionghoa.
Hal itu nampak pada keberadaannya di Jawa bersamaan waktunya dengan peristiwa
perubahan cara beribadat dari penggunaan bahasa Cina ke bahasa Arab, seperti
tampak pada peralihan madzhab. Dalam kontek dakwah, peralihan itu penting
karena ketentuan normatif dari ajaran Islam mensyaratkan bahasa Arab yang harus
dipakai ketika melakukan ibadah ritual (sholat).
Tentang Bong Swi Hoo, kesaksian Walisana tidak menggambarkannya sebagai
unsure manusia dalam dakwah yang paling berpengaruh dalam pengislaman Jawa. Ia
dilaporkan tak lebih dari sekedar salah seorang diantara para wali biasa, tidak
sepadan jika dibandingkan dengan Giri, wali terkenal dari Surabaya Jawa Timur.
Dicatat juga, meski sunan-sunan dari Giri itu bukan berasal dari etnis Tionghoa,
namun mereka tidak mengabaikan peran yang bisa dimainkan oleh orang-orang
Tionghoa Muslim. Walisana melaporkan, orang-orang Tionghoa Muslim bertindak
secara aktif sebagai pembantu dalam dakwah yang diprakarsai oleh sunan-sunan dari
Giri.
Dalam versi lain, dalam cerita-cerita Jawa ditemukan laporan tentang peran dakwah
cukup penting telah dilakukan oleh Bong Swi Hoom terutama pada generasi
berikutnya baik dari anak ataupun murid-muridnya. Di antaranya Sunan Bonang,
Tionghoa peranakan keturunan Bong Swi Hoo dengan Dyah Manila adalah seorang
wali yang berhasil mengislamkan Gan Sie Cang (Sunan Kalijaga), seorang kapten
Tionghoa di Semarang yang menurut Walisana semula lebih dikenal dengan sebutan
Brandal. Setelah perubahannya menjadi muslim, Gan Sie Cang terkenal sebagai
salah seorang wali di Jawa, melebihi guru-gurunya dalam kiprah dakwah. Oleh
karena itu pantas dinyatakan bahwa, meski pada orde reformasi ini kiprah Tionghoa
Muslim di Indonesia dalam dakwah Islam tidak sejelas ketika kita menengok etnis
Arab, namun sejarah generasi pertama etnis Tionghoa muslim di Jawa cukup jelas
menampilkannya seperti terlihat pada sosok Bang Swi Hoo.
PENUTUP
Rekonstruksi sejarah etnis Tionghoa dalam bidang dakwah, seperti tersebut di atas
terkait dengan generasi awal sejarah etnis Tionghoa di Jawa. Sumber-sumber yang
dipakai untuk rekonstruksi itu, terutama Laporan Tahunan Melayu adalah hasil
penelitian Poorman yang dinilai kontroversial. Sebagai suatu wacana, temuan
Poorman itu menarik untuk dicermati. Keterlibatan etnis Tionghoa di masa lalu
dalam kegiatan dakwah Islam, tidak tertutup kemungkinan benar-benar terjadi di
masa lalu. Namun demikian, kita menemukan adanya kelangkaan dokumen sejarah
tertulis yang menguatkan hal itu. Oleh karena itulah, sejarah-tertulis kemudian
mengasumsikan sebaliknya.

TAHUN BARU IMLEK

TAHUN BARU IMLEK
Tahun Baru Imlek merupakan perayaan terpenting orang Tionghoa. Perayaan tahun baru imlek dimulai di hari pertama bulan pertama (Chinese: 正月; pinyin: zhēng yuè) di penaggalan Tionghoa dan berakhir dengan Cap Go Meh 十五冥 元宵节 di tanggal kelima belas (pada saat bulan purnama). Malam tahun baru imlek dikenal sebagai Chúxī yang berarti "malam pergantian tahun".
Di Tiongkok, adat dan tradisi wilayah yang berkaitan dengan perayaan Tahun Baru Cina sangat beragam. Namun, kesemuanya banyak berbagi tema umum seperti perjamuan makan malam pada malam Tahun Baru, serta penyulutan kembang api. Meskipun penanggalan Cina secara tradisional tidak menggunakan nomor tahun malar, penanggalan Tionghoa di luar Tiongkok seringkali dinomori dari pemerintahan Huangdi. Setidaknya sekarang ada tiga tahun berangka 1 yang digunakan oleh berbagai ahli, sehingga pada tahun 2009 masehi "Tahun Tionghoa" dapat jadi tahun 4707, 4706, atau 4646.
Dirayakan di daerah dengan populasi suku Tionghoa, Tahun Baru Imlek dianggap sebagai hari libur besar untuk orang Tionghoa dan memiliki pengaruh pada perayaan tahun baru di tetangga geografis Tiongkok, serta budaya yang dengannya orang Tionghoa berinteraksi meluas. Ini termasuk Korea, Mongolia, Nepal, Bhutan, Vietnam, dan Jepang (sebelum 1873). Di Daratan Tiongkok, Hong Kong, Macau, Taiwan, Singapura, Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan negara-negara lain atau daerah dengan populasi Han Cina yang signifikan, Tahun Baru Cina juga dirayakan, dan pada berbagai derajat, telah menjadi bagian dari budaya tradisional dari negara-negara tersebut.

TANGGAL PERAYAAN
Kalender lunisolar Tionghoa menentukan tanggal Tahun Baru Cina. Kalender tersebut juga digunakan di negara-negara yang telah mengangkat atau telah dipengaruhi oleh budaya Han (terutama di Korea, Jepang, dan Vietnam) dan mungkin memiliki asal yang serupa dengan perayaan Tahun Baru di luar Asia Timur (seperti Iran, dan pada zaman dahulu kala, daratan Bulgar).
Dalam kalender Gregorian, Tahun Baru Cina jatuh pada tanggal yang berbeda setiap tahunnya, antara tanggal 21 Januari sampai 20 Februari. Dalam kalender Tionghoa, titik balik mentari musim dingin harus terjadi di bulan 11, yang berarti Tahun Baru Cina biasanya jatuh pada bulan baru kedua setelah titik balik mentari musim dingin (dan kadang yang ketiga jika pada tahun itu ada bulan kabisat). Di budaya tradisional di Cina, lichun adalah waktu solar yang menandai dimulainya musim semi, yang terjadi sekitar 4 Februari.
Tanggal untuk Tahun Baru Cina dari 1996 sampai 2019 (dalam penanggalan Gregorian) dapat dilihat di tabel di atas, bersamaan dengan shio hewan untuk tahun itu dan cabang duniawinya. Bersamaan dengan daur 12-tahun masing-masing dengan shio hewan ada daur 10-tahun batang surgawi. Setiap surgawi dikaitkan dengan salah satu dari lima elemen perbintangan Cina, yaitu: Kayu, Api, Bumi, Logam, dan Air. Unsur-unsur tersebut diputar setiap dua tahun sekali sementara perkaitan yin dan yang silih berganti setiap tahun. Unsur-unsur tersbut dengan itu dibedakan menjadi: Kayu Yang, Kayu Yin, Api Yang, Api Yin, dan seterusnya. Hal ini menghasilkan sebuah daur gabungan yang berulang setiap 60 tahun. Sebagai contoh, tahun dari Tikus Api Yang terjadi pada 1936 dan pada tahun 1996.
Banyak orang mengacaukan tahun kelahiran Tionghoa dengan dengan tahun kelahiran Gregorian mereka. Karena Tahun Baru Cina dapat dimulai pada akhir Januari sampai pertengahan Februari, tahun Tionghoa dari 1 Januari sampai hari imlek di tahun baru Gregorian tetap tidak berubah dari tahun sebelumnya. Sebagai contoh, tahun ular 1989 mulai pada 6 Februari 1989. Tahun 1990 dianggap oleh beberapa orang sebagai tahun kuda. Namun, tahun ular 1989 secara resmi berakhir pada 26 Januari 1990. Ini berarti bahwa barang siapa yang lahir dari 1 Januari ke 25 Januari 1990 sebenarnya lahir pada tahun ular alih-alih tahun kuda. 

Sejarah

Sebelum Dinasti Qin, tanggal perayaan permulaan sesuatu tahun masih belum jelas. Ada kemungkinan bahwa awal tahun bermula pada bulan 1 semasa Dinasti Xia, bulan 12 semasa Dinasti Shang, dan bulan 11 semasa Dinasti Zhou di China. Bulan kabisat yang dipakai untuk memastikan kalendar Tionghoa sejalan dengan edaran mengelilingi matahari, selalu ditambah setelah bulan 12 sejak Dinasti Shang (menurut catatan tulang ramalan) dan Zhou (menurut Sima Qian). Kaisar pertama China Qin Shi Huang menukar dan menetapkan bahwa tahun tionghoa berawal di bulan 10 pada 221 SM. Pada 104 SM, Kaisar Wu yang memerintah sewaktu Dinasti Han menetapkan bulan 1 sebagai awal tahun sampai sekarang.

Mitos

Puisi Tahun Baru Cina tulisan tangan ditempel pada pintu ke rumah orang, di Lijiang, Yunnan, Cina.

Menurut legenda, dahulu kala, Nián () adalah seekor raksasa pemakan manusia dari pegunungan (atau dalam ragam hikayat lain, dari bawah laut), yang muncul di akhir musim dingin untuk memakan hasil panen, ternak dan bahkan penduduk desa. Untuk melindungi diri merka, para penduduk menaruh makanan di depan pintu mereka pada awal tahun. DIpercaya bahwa melakukan hal itu Nian akan memakan makanan yang telah mereka siapkan dan tidak akan menyerang orang atau mencuri ternak dan hasil Panen. Pada suatu waktu, penduduk melihat bahwa Nian lari ketakutan setelah bertemu dengan seorang anak kecil yang mengenakan pakaian berwarna merah. Penduduk kemudian percaya bahwa Nian takut akan warna merah, sehingga setiap kali tahun baru akan datang, para penduduk akan menggantungkan lentera dan gulungan kerta merah di jendela dan pintu. Mereka juga menggunakan kembang api untuk menakuti Nian. Adat-adat pengurisan Nian ini kemudian berkempang menjadi perayaan Tahun Baru. Guò nián (Hanzi tradisional: 過年; bahasa Tionghoa: 过年), yang berarti "menyambut tahun baru", secara harafiah berarti "mengusir Nian".[1][2]
Sejak saat itu, Nian tidak pernah datang kembali ke desa. Nian pada akhirnya ditangkap oleh 鸿钧老祖 atau 鸿钧天尊Hongjun Laozu, seorang Pendeta Tao dan Nian kemudian menjadi kendaraan Honjun Laozu.
 

Tahun Baru Imlek di Indonesia

Di Indonesia, selama 1965-1998, perayaan tahun baru Imlek dilarang dirayakan di depan umum. Dengan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967, rezim Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, melarang segala hal yang berbau Tionghoa, di antaranya Imlek.
Masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia kembali mendapatkan kebebasan merayakan tahun baru Imlek pada tahun 2000 ketika Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres Nomor 14/1967. Kemudian Presiden Abdurrahman Wahid menindaklanjutinya dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19/2001 tertanggal 9 April 2001 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur yang fakultatif (hanya berlaku bagi mereka yang merayakannya). Baru pada tahun 2002 (12 Februari 2002), Imlek resmi dinyatakan sebagai salah satu hari libur nasional oleh Presiden Megawati Sukarno Putri