POSTING

Rabu, 26 Januari 2011

JEJAK KAUM ETNIS TIONGHOA DI PULAU JAWA DALAM PENYEBARAN AGAMA ISLAM

MENCARI JEJAK DAKWAH ETNIS
TIONGHOA DI JAWA ABAD 15-16
MASEHI
Oleh : YOSI K

PENGANTAR
Kiprah etnis Tionghoa di Indonesia menonjol dalam bidang ekonomi hingga kini.
Hal itu tentu tidak tertutup kemungkinan bahwa mereka juga punya peran pada
bidang yang lain, seperti agama dan kepercayaan. Khusus untuk bidang agama,
terutama kemungkinan mereka memiliki kiprah di bidang dakwah Islam
didasarkan pada pemikiran bahwa sepanjang dapat ditemukan masyarakat Islam
di kalangan mereka, maka tentu dapat diasumsikan ada gerakan dakwah oleh dan
kepada mereka. Hal itu disebabkan, kegiatan dakwah dapat difikirkan sebagai
kegiatan yang melekat dengan pelaksanaan ajaran Islam. Dakwah adalah
pengamalan ajaran Islam yang bertujuan mempengaruhi orang lain.
Dalam makalah ini, penulis berusaha menggambarkan beberapa hal tentang dakwah
mereka di Jawa pada masa awal kehadiran mereka di sana. Periode itu ada yang
menyebutnya sebagai zaman Cheng Ho dan ada pula yang menyebut periode
generasi pertama Muslim Tionghoa di Jawa. Makalah ini akan lebih
menitikberatkan pada deskripsi seorang dai Tionghoa yang bernama Bong Swi Ho.
Untuk melakukan rekonstruksi terkait dengan tujuan itu, penulis mendasarkan
sumber utamanya pada Catatan Tahunan Melayu. Catatan tahunan Melayu adalah
hasil penelitian Poortman terhadap tulisan-tulisan atau dokumen yang tersimpan di
kelenteng Sam Po Kong di Semarang dan kelenteng Talang di Cirebon. Penelitian
Poortman itu dimaksudkan mencari klarifikasi mengenai Panembahan Jin Bun atau
Radebn patah.
Pada tahun 1964 Catatan itu disunting dan dikomentari oleh Ir. Manggaradja
Onggan Parlindungan dan disebutkan dalam lampiran legenda Sumatra, sebagai
bahan kajian untuk bukunya yang berjudul �Tuanku Rao�. Pada tahun 1968,
catatan tahunan itu dipakai oleh Mr. Slamet Muljana sebagai sumber utama dalam
bukunya tentang munculnya negara-negara Islam di Indonesia. Buku karya Slamet
Mulyana berjudul Runtuhnya Kerajaan Hindu Djawa dan Timbulnya Negaranegara
Islam di Nusantara yang pada tahun 1971 dilarang beredar di Indonesia.
Pada tahun 1984, H.J. De Graaf dan th. G Pigeaud menyusun buku tentang Muslim
Cina di Jawa pada abad 15-16 M. Di antara sumber yang dipakai adalah Catatan
Tahunan Melayu seperti disunting oleh Parlindungan. Terhadap Catatan itu H.J.
De Graaf dan th. G Pigeaud melakukan analisis perbandingan dengan tiga sumber
utama sejarah Jawa yaitu (1) Catatan Pengembara Portugal, Tom Pires, (2) Catatan-
Catatan dokumenter Cina Daratan dan (3) Babad Tanah Jawa.
Menurut beberapa peneliti, seperti Denys Lombard, MC. Ricklefs, Liem Ek Hian
dan Leonard Blusse, naskah asli yang dipakai oleh Poortman tidak ditemukan,
demikian juga hasil penelitian Poortman yang konon dicetak tidak lebih dari 5
eksemplar dinyatakan hilang. Dengan kenyataan itu, beberapa ahli menyatakan
bahwa �Naskah Poortman� itu �hanya bikinan Ir Parlindungan saja�. Dalam banyak
hal, makalah ini disusun dengan mengacu pada buku karya H.J. De Graaf dan th. G
Pigeaud serta laporan penelitian Poortman. Laporan penelitian Poortman disebut
dengan Catatan Tahunan Melayu yang dipakai dalam penelitian ini dikutip dari
lampiran dalam karya tulisnya Ir. Manggaradja Onggan Parlindungan.
KEHADIRAN TIONGHOA
Dilihat dari agama yang dipeluk, awal kehadiran Tionghoa di Jawa berhubungan
dengan pembentukan pertama masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia. Menurut
Catatan Greif, kehadiran mereka berlangsung bersamaan waktunya dengan
kekacauan yang melanda pusat pemerintahan di Tiongkok. Dinasti Manchu yang
menggantikan pemerintah sebelumnya menjadi salah satu pemicu perpindahan
penduduk Tiongkok ke luar daerah, diantaranya ke Jawa. Di bawah kekuasaan
Dinasti Manchu (1644-1912 M) masyarakat Islam Tiongkok mengalami penindasan
dari pemerintah. Dengan demikian, Greif agaknya sedang menyebutkan, etnis
Tionghoa yang datang ke Jawa itu kemungkinan besar beragama Islam, yaitu agama
yang secara resmi dinyatakan pertama kali datang ke Tiongkok pada masa
pemerintahan Yong Hui dari dinasti Tang (649-651).
Lebih tua dari tahun yang dperkirakan dari pendapat Greif tersebut, ada sumber
sejarah yang melaporkan kesan-kesan terhadap masyarakat Tionghoa Islam pertama
di Jawa. Sumber yang dimaksud adalah buku laporan perjalanan laksamana Ceng Ho
antara lain ke Jawa yang selesai ditulis tahun 1416 M oleh Haji Ma Huan, sekretaris
dan juru bicara Ceng Ho. Laporan itu kemudian disempurnakan dengan
pengurangan dan penambahan seusai dua pelayaran berikutnya. Dengan
memperhatikan tahun penulisan itu, maka dapat di duga sebelum tahun 1416, di
Jawa telah ada masyarakat Tionghoa memeluk agama Islam, jauh sebelum tahun
yang diperoleh dari Catatan Greif. (1600-an Masehi).
Berkaitan dengan hal itu, sejumlah batu nisan yang terletak di komplek pemakaman
Islam di Tralaya, berada di sebelah selatan kawasan bekas tempat keraton Majapahit,
dapat membantu sedikit penelusuran tahun tertua pembentukan awal masyarakat
Tionghoa Muslim. Seperti dilaporkan oleh L.Ch. Darmais yang dikutip Amen
Budiman, di kawasan tersebut, ada sejumlah batu nisan yang memakai tahun Saka
dan sebuah di antaranya memakai tahun Arab. Batu-batu nisan yang memakai tahun
Saka itu menggunakan hiasan ayat-ayat al-Qur�an dan rumus-rumus ibadah,
sedangkan yang memakai tahun Hijriyah mempunyai sebuah inskrispi yang
menyebutkan nama Zaenudin. Sebuah batu nisan yang memakai tahun Saka di
kawasan itu memiliki titi mangsa tahun 1533 Saka yang bertepatan dengan tahun
1611 M. Selain itu, batu-batu nisan memiliki titi mangsa yang berkisar antara tahun
1298 sampai tahun 1397 Saka yang bertepatan dengan tahun 1376-1475 Masehi,
termasuk batu nisan yang memakai tahun Arab yang berasal dari tahun 874 H, yang
bertepatan dengan tahun 1391-1392 Saka atau tahun 1469-1470 M.
Dari batu-batu nisan itu dapat diperkirakan sejumlah informasi sejarah, bahwa
waktu kerajaan Majapahit berada dalam puncak kejayaannya pada masa
pemerintahan Hayam Wuruk (1350-1389 M), di kawasan kerajaan itu dapat
ditemukan masyarakat Islam. Demikian juga halnya waktu Haji Ma Huan
mengunjungi daerah Jawa, ada beberapa kemungkinan informasi sejarah yang dapat
dikemukakan sebagai berikut. Ada kemungkinan sebagian dari masyarakat Islam
yang bermukim di sekitar keraton Majapahit berasal dari etnis Tionghoa. Hal itu
terhimpun dari laporan Haji Ma Huan ketika dia melihat dari dekat keadaan
masyarakat Islam Tionghoa di Jawa Timur. Menurut Haji Ma Huan, di Majapahit
terdapat lebih dari seribu keluarga bangsa asing. Sebagian besar dari mereka adalah
orang Tionghoa yang berasal dari pusat kerajaan Tiongkok. Mereka berasal dari
dinasti Tang, yang berasal dari propinsi Kanton, Zhangzhou, Qhuanzhau dan
daerah-daerah lain yang telah melarikan diri dari daerah mereka. Banyak diantara
mereka telah memeluk agama Islam.
Dalam kontaknya dengan masyarakat pribumi, menurut beberapa kesaksian orangorang
Eropa, kehadiran masyarakat Tionghoa dapat diterima dengan baik oleh
masyarakat pribumi di Jawa pada umumnya. Tome Pires termasuk mereka yang
pertama-tama memberitakan hal tersebut. Dalam salah satu tulisannya yang dibuat
kira-kira tahun 1544, Tome Pires menyebutkan bahwa kepulauan Maluku telah
lama memiliki hubungan dengan orang-orang Tionghoa. Kehadiran mereka sejak
zaman kuno telah dikenali dari gaya rumahnya dan dari kepeng Cina sebagai mata
uang.
Adapun Diego de Couto mencatat, banyak orang menegaskan bahwa orang Jawa
adalah keturunan Tionghoa. Kesaksian yang sama dikemukakan dalam salah satu
tulisan yang dibuat Edmund Scott. Penulis tersebut terakhir selama dua tahun
(antara 1603 sampai 1605 M) tinggal di Loji Inggris di Banten. Setelah melukiskan
sebuah perayaan besar di kota, ia mengakhirinya dengan pernyataan bahwa perayaan
itu dan semacamnya telah diajarkan oleh orang-orang Tionghoa sejak zaman kuno.
Wounter Schouten yang berada di Hindia selama kwartal ketiga abad ke-tujuh belas
menulis bahwa orang-orang Jawa merasa senang menyatakan diri sebagai keturunan
Tionghoa. Kebanggaan sebagai keturunan Tionghoa itu juga dilaporkan oleh Abbe
De Raynal yang disebut oleh Denys Lombard sebagai salah seorang penulis yang
memberikan kesaksian tentang keharmonisan hubungan social yang terjalin antara
orang-orang Jawa dengan Tionghoa.
Terlepas dari kesaksian-kesaksian itu, suatu keyataaan dapat ditegaskan bahwa aktor
agama cukup penting memainkan peran dalam proses pembauran itu. Dalam kasus
Tionghoa di Jawa ini, faktor agama dimaksud adalah Islam, karena seperti tersimpul
dari uraian di atas, Tionghoa yang datang itu beragama Islam. Di Jawa mereka
tinggal dan menetap di pelabuhan pesisir sebelah Timur, seperti Tuban, Gresik dan
Surabaya. Di samping itu, ditemukan pula masyarakat Tionghoa Islam pada masa
lalu yang menetap di Demak, Cirebon, Lasem, Banten dan Semarang.
Di Tuban mereka merupakan sebagian besar dari penduduk yang menurut taksiran
mencapai �seribu keluarga lebih�. Demikian juga di Gresik, ketika Cheng Ho
singgah, mereka ada sekitar �seribu keluarga�. Di Surabaya sejumlah besar
penduduknya juga orang Tionghoa. Tentang pusat kegiatan dakwah Tionghoa,
Catatan tahunan Melayu beberapa kali menyebutkan daerah Jiao Tung. Istilah itu
mungkin dari kata Cina dari daratan, suatu nama yang ditemukan di selatan
pelabuhan Gresik dan sebelah utara Surabaya. Kata yang disebut-sebut tidak muncul
dalam buku-buku cerita Jawa, namun ada kecocokan dengan laporan Belanda.
MADZHAB MUSLIM TIONGHOA
Masyarakat Tionghoa Muslim generasi pertama itu dilaporkan oleh Catatan
Tahunan Melayu bermadzhab Hanafi. Kutipan berikut menyatakan hal itu :
1411-1416
Muslim/Hanafi Chinese Communities dibentuk pula di Semenanjung Malaya,
di Pulau Djawa dan di Filipina. Di Pulau Djawa didirikan masjid-masjid di
Antjol/Djakarta, Sembung/Tjirebon, Lasem, Tuban, Tse Tsun/Gresik,
Djaotung/Djoratan, Tjangki/Mojokerto dan lain-lain lagi
Fakta tentang kepengikutan mereka pada madzhab Hanafi itu didukung oleh
beberapa sejarawan. Dalam salah satu bukunya, Dabri de Thiersant, seperti dikutip
De Graaf dan Pigeaud menyatakan bahwa di antara empat madzhab Sunni yang
paling terkenal adalah madzhab Abu Hanifah. Mayoritas muslim Tionghoa
tampaknya menganut madzhab ini, akan tetapi sebenarnya mereka merupkan sekte
baru. M. Rafiq Khan dari Akademi Nasional, New Delhi menegaskan dalam salah
satu bukunya �Mereka (muslim Cina Tionghoa, pen) menamakan diri mereka
sebagai orang Hanafi, dan di antara madzhab Sunni, mereka hanya mengikuti Imam
Hanafi. Mereka tidak mengenal Syi�ah dan Sunni�.
Catatan tahunan itu menyebutkan bahwa Dinasti Ming di Tiongkok telah menjalin
hubungan dakwah dengan Jawa. Jalinan itu tercermin pada apa yang disebutnya
sebagai pengiriman beberapa dai yang bertugas menangani perkembangan
masyarakat muslim Tionghoa bermadzhab Hanafi, dengan mengambil Campa
sebagai pusatnya. Di Campa ditempatkan dai yang bernama Bong Tak Keng. Ia
menugaskan H.Gan Eng Cu untuk membina masyarakat muslim Hanafi di Manila.
Pada 1423, H.Gan Eng Cu dipindah ke Tuban untuk tugas yang sama di Jawa,
Kokang (Palembang), dan Sambas (Kalimantan).
Adanya jalinan hubungan Jawa dengan Tiongkok itu dibenarkan pula oleh kajian
lain. Denis Lombard menyebutkan bahwa dari tahun 1370 sampai akhir abad ke-15,
sejarah Dinasti Ming menyebutkan tidak kurang dari 43 duta kerajaan ke Jawa.
Sebanyak 41 duta kerajaan di antaranya melakukan kunjungan ke Jawa sepanjang
jangka waktu kira-kira satu abad, dari 1370 sampai 1465. Jalinan hubungan itu
terjadi dalam bidang perdagangan. Pada tingkat diplomasi, hubungan Tiongkok-
Jawa senantiasa cukup baik selama kurun waktu tersebut di atas. Kira-kira tahun
1410, keraton Cina (Tionghoa, pen) dengan resmi memihak Jawa ketika terjadi
konflik antara Jawa dengan Malaka yang menuntut kedaulatan atas Palembang.
Keraton Tionghoa mengirim sepucuk surat yang mengandung keputusan untuk
memihak kepada penguasa Majapahit.
Dalam laporan Catatan Tahunan, hubungan baik itu berlangsung pada paruh
pertama abad 15 dan dilaporkan berakhir pada pertengahan abad tersebut. Tandatanda
terputusnya hubungan itu terjadi berkaitan dengan kemerosotan reputasi
Dinasti Ming di Tiongkok. Hal itupun tidak berarti ada indikasi keretakan
hubungan apalagi konflik antara Jawa dan Tiongkok. Meski tahun-tahun tersebut
misalnya, agaknya bisa diperdebatkan, namun akibat dari itu terhadap kegiatan
dakwah mereka di Jawa lebih menarik perhatian. Salah satu akibat yang dimaksud
adalah keterputusan hubungan dakwah antara Tiongkok dengan komunitas Muslim
Tionghoa di Jawa. Komunitas muslim Tionghoa di Jawa semakin terpuruk dan
terisolasi seiring dengan upaya-upaya tertentu yang dilakukan oleh orang-orang
Eropa pada abad 16, 17 dan 18.
Orang-orang Eropa pada abad-abad tersebut gencar berupaya memisahkan
hubungan social antara muslim Tionghoa di Jawa dengan masyarakat pribumi
pada umumnya. Orang-orang Eropa menyebarluaskan isu yang kurang lebih
berdampak pada munculnya persepsi yang menganggap muslim Tionghoa di Jawa
sebagai �orang asing timur�. Dilaporkan, pada abad 18, masyarakat Tionghoa
peranakan di Batavia minta ijin jika hendak membangun masjidnya sendiri.
Selanjutnya terkait dengan identitas diri masyarakat pribumi yang berkembang
waktu itu, seperti kebanggaan mereka dengan mengidentifikasikan diri sebagai
keturunan Tionghoa di kalangan orang-orang Jawa yang pernah terjadi pada abad
15 dan 19, berhasil semakin dipudarkan oleh orang-orang Eropa.
Masih berkaitan dengan keterputusan dengan masyarakat Muslim Tiongkok,
masyarakat Muslim Tionghoa di Jawa pada perkembangan selanjutnya mengambil
keputusan lain. Bong Swi Hoo sebagai salah satu dai Tionghoa mengambil inisiatif
untuk merubah strategi dakwahnya. Semula dia berdakwah hanya kepada sesame
etnis Tionghoa. Dengan perubahan konstelasi politik di Tiongkok khususnya yang
berdampak pada keterputusan hubungan antara Tiongkok dengan Jawa, maka Bong
Swi Hoo mengembangkan obyek dakwahnya disamping pada etnis Tionghoa juga
mengikutsertakan etnis lain sebagai bagian dari obyek dakwahnya, yaitu masyarakat
muslim Jawa. Bahkan lebih dari itu, dakwah Bong Swi Hoo sering juga
menggunakan bahasa Jawa. Penggunaan bahasa Jawa sebagai bahasa dakwah Bong
Swi Hoo menarik untuk dicermati. Sedikitnya, pembauran etnis Tionghoa dan
Jawa telah berjalan dengan baik. Di samping itu, dia juga melakukan peralihan
madzhab dari Hanafiyah ke madzhab Islam Syafi�i. Namun demikian, kiranya perlu
segera ditegaskan, madzhab Hanafi yang dimaksud berbeda dengan madzhab Syafi�i
hanya dalam aspek peribadatan ritual semata. Orang-orang Hanafi menggunakan
bahasa Cina dalam ibadah ritualnya (salatnya) sementara orang-orang Syafi�i
menggunakan bahasa Arab.
BONG SWI HOO
Keberadaan tokoh Bong Swi Ho di Jawa bisa ditemukan hubungannya dengan
penempatan beberapa nama pegawai utusan dinasti Ming ke wilayah kepualauan
Selatan. Nama-nama pegawai Muslim Tionghoa itu adalah Hok Tak Keng, Gan
Eng Cu dan Ma Hong Fu. Mang Hong Fu adalah Muslim Tionghoa yang bertugas
sebagai duta muslim Tiongkok di Keraton Majapahit selama masa kekuasaan Ratu
Suhita. Dia menikah dengan putri Bong Tak Keng (muslim Tiongoa yang
ditugaskan di Campa). Sedangkan Bok Tak Keng tidak lain adalah kakek Bong Swi
Hoo. Adapun Gang Eng Cu yang semula bertugas di Manila, oleh Bong Tak Keng
dipindah ke Tuban.
Ki Ageng Manila, anak Gan Eng Cu menikah dengan Bong Swi Hoo. Gan Eng Cu
adalah mertua Bong Swi Hoo. Selanjutnya dilaporkan dalam Babad Tanah Jawa,
saudara dan keponakan Bong Swi Hoo yang bernama Raden Santri dan Burereh
menikah dengan putri-putri penguasa aristokrat lama (Arya Teja).
Jalinan perkawinan itu menarik perhatian, karena punya nilai strategis bagi
pengembangan dakwah Islam di Jawa. Di samping itu, berita pernikahan semacam
itu disebut dalam Babad Tanah Jawa (Walisana) ketika memberitakan Sunan Ampel
(Raden Rahmat), Sunan Giri (Sunan Gresik) dan Raden Alim Abu Hurairah (Sunan
Majagung). Berita tentang Bong Tak Keng juga ada kecocokan dengan laporan dari
tradisi Jawa mengenai Raden Rahmat sebagai keponakan putri Campa. Bong Tak
Keng dari Campa dan seorang ulama yang bernama Makdum Ibrahim Asmara,
suami dari seorang putri Campa dan yang disebut oleh tradisi Jawa sebagai ayah
Raden Rakhmat, bisa jadi adalah ayah dan anak. Adanya kecocokan-kecocokan
tersebut, boleh jadi dapat menjadi dasar untuk dapat menerima suatu pendapat yang
menegaskan bahwa Bong Swi Hoo adalah Raden Rahmad (Sunan Ampel).
DAKWAH BONG SWI HOO
Buku-buku Cerita Jawa dan Catatan tahunan Melayu sama ketika menyebut asalusul
Bong Swi Hoo, yaitu Campa. Ada perbedaan antara keduanya, antara lain
dalam hal tempat pembinaan agama yang diperoleh sebelum pergi ke Jawa. Catatan
tahunan Melayu melaporkan Bong Swi Hoo tinggal di Kukang (Palembang)
sebelum pergi ke Jawa. Di kota itu ia membantu Swan Liong (Arya Damar), pejabat
Muslim kerajaan Majapahit yang tinggal di sana dalam bidang dakwah. Hubungan
kemitraan dalam bidang dakwah itu dalam kenyataannya dapat dipikirkan sebagai
suatu upaya pembekalan atau pendampingan sebelum akhirnya berkiprah secara
mandiri dalam kegiatan dakwah di Jawa.
Pembekalan bidang dakwah yang diperoleh dari Swan Liong itu tidak disebut dalam
buku-buku cerita Jawa, meskipun tradisi Jawa tidak menolak ada hubungan antara
Bong Swi Hoo dengan Swan Liong. Sebelumnya, ia telah mendapatkan semacam
pembekalan dakwah dari ayahnya sendiri di Campa, Maulana Ibrahim.
Kedatangannya dari Campa ke Jawa disertai dengan saudara dan keponakannya,
tanpa melakukan persinggahan ke Palembang.
Di Jawa dia menemui Gan Eng Cu (yang dalam Walisana diidentikkan dengan Arya
Teja). Pada saat yang telah ditentukan, perkawinannya dengan putri Gan Eng Cu
dilngsungkan. Kemudian Bong Swi Hoo, saudara dan keponakannya memperoleh
wilayah-wilayah tertentu sebagai wilayah dakwahnya. Wilayah dakwah Bong Swi
Hoo di Surabaya, Raden Ali memperoleh wilayah di Gresik, sedang Burereh di
Majagung (Cirebon). Catatan Tahunan Melayu tentang dakwah Bong Swi Hoo
menceritakan peranannya dalam mendirikan masyarakat muslim syafi�iyah di
Surabaya samapai meninggal dunia (1478), tanpa diceritakan dengan jelas peralihan
Bong Swi Hoo dari madzhab Hanafi ke madzhan Syafi�i. Catatan itu menekankan
pada perkembangan Islam di daerah-daerah pantai Surabaya, Semarang dan Demak.
Hal itu agaknya hendak menginformasikan perihal perkembangan simbiosis antara
orang Jawa dengan Tionghoa dengan dasar agama yang sama, yaitu Islam.
Dengan uraian di atas, nampak bahwa Catatan Tahunan Melayu memuji Bong Swi
Hoo sebagai dai Islam yang paling berpengaruh di kalangan penduduk Jawa Timur.
Ia dipandang orang pertama di antara dai Tionghoa yang menggunakan bahasa Jawa
dalam kegiatan dakwah. Namun agaknya pantas dicatat bahwa Bong Swi Hoo
punya pengaruh cukup penting dalam lingkungan masyarakat muslim Tionghoa.
Hal itu nampak pada keberadaannya di Jawa bersamaan waktunya dengan peristiwa
perubahan cara beribadat dari penggunaan bahasa Cina ke bahasa Arab, seperti
tampak pada peralihan madzhab. Dalam kontek dakwah, peralihan itu penting
karena ketentuan normatif dari ajaran Islam mensyaratkan bahasa Arab yang harus
dipakai ketika melakukan ibadah ritual (sholat).
Tentang Bong Swi Hoo, kesaksian Walisana tidak menggambarkannya sebagai
unsure manusia dalam dakwah yang paling berpengaruh dalam pengislaman Jawa. Ia
dilaporkan tak lebih dari sekedar salah seorang diantara para wali biasa, tidak
sepadan jika dibandingkan dengan Giri, wali terkenal dari Surabaya Jawa Timur.
Dicatat juga, meski sunan-sunan dari Giri itu bukan berasal dari etnis Tionghoa,
namun mereka tidak mengabaikan peran yang bisa dimainkan oleh orang-orang
Tionghoa Muslim. Walisana melaporkan, orang-orang Tionghoa Muslim bertindak
secara aktif sebagai pembantu dalam dakwah yang diprakarsai oleh sunan-sunan dari
Giri.
Dalam versi lain, dalam cerita-cerita Jawa ditemukan laporan tentang peran dakwah
cukup penting telah dilakukan oleh Bong Swi Hoom terutama pada generasi
berikutnya baik dari anak ataupun murid-muridnya. Di antaranya Sunan Bonang,
Tionghoa peranakan keturunan Bong Swi Hoo dengan Dyah Manila adalah seorang
wali yang berhasil mengislamkan Gan Sie Cang (Sunan Kalijaga), seorang kapten
Tionghoa di Semarang yang menurut Walisana semula lebih dikenal dengan sebutan
Brandal. Setelah perubahannya menjadi muslim, Gan Sie Cang terkenal sebagai
salah seorang wali di Jawa, melebihi guru-gurunya dalam kiprah dakwah. Oleh
karena itu pantas dinyatakan bahwa, meski pada orde reformasi ini kiprah Tionghoa
Muslim di Indonesia dalam dakwah Islam tidak sejelas ketika kita menengok etnis
Arab, namun sejarah generasi pertama etnis Tionghoa muslim di Jawa cukup jelas
menampilkannya seperti terlihat pada sosok Bang Swi Hoo.
PENUTUP
Rekonstruksi sejarah etnis Tionghoa dalam bidang dakwah, seperti tersebut di atas
terkait dengan generasi awal sejarah etnis Tionghoa di Jawa. Sumber-sumber yang
dipakai untuk rekonstruksi itu, terutama Laporan Tahunan Melayu adalah hasil
penelitian Poorman yang dinilai kontroversial. Sebagai suatu wacana, temuan
Poorman itu menarik untuk dicermati. Keterlibatan etnis Tionghoa di masa lalu
dalam kegiatan dakwah Islam, tidak tertutup kemungkinan benar-benar terjadi di
masa lalu. Namun demikian, kita menemukan adanya kelangkaan dokumen sejarah
tertulis yang menguatkan hal itu. Oleh karena itulah, sejarah-tertulis kemudian
mengasumsikan sebaliknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar