Melihat Kerupuk ’’Memble’’ Khas Mojokerto yang Sempat Terpuruk
Dikerjakan Satu Keluarga, Menggeliat usai Vakum 10 Tahun
Usaha kerupuk ’’Memble’’ yang digarap pasangan suami istri Lamisan-Nasinah sempat berjaya pada tahun 1990-an. Bahkan dikenal khas Kabupaten Mojokerto. Namun diserang krisis, usahanya bangkrut. Nah, kini, berupaya bangkit lagi dari tidurnya.
CukX__ Mojokerto
RUMAH dengan tembok berwarna putih yang berada di Desa Penompo, Kecamatan Jetis siang kemarin terasa sepi. Tidak ada aktivitas terlihat dari luar rumah. Hanya sebuah papan bertuliskan nama usaha penjual kerupuk bertengger di depan.
Sebuah papan terbuat dari anyaman bambu terpasang didepan rumah sebagai alas menjemur ratusan kerupuk yang masih basah.
Di samping rumah, sebuah ruangan berukuran 6x6 meter terlihat aktivitas. Canda tawa anak-anak kecil terdengar dari luar rumah. Di depan pintu ruangan yang banyak tersimpan karung-karung tepung terigu itu, Iva dan dua saudaranya tampak tekun meletakkan bahan setengah jadi kerupuk yang baru direbus.
Sesekali bocah perempuan berusia delapan tahun ini bercanda dengan kakaknya, Saifun dan sepupunya Maarif. Ketiganya sangat terampil membentuk kerupuk-kerupuk yang masih basah tersebut dan meletakkannya diatas nampan terbuat dari bambu.
’’Ya begini ini aktivitas sehari-hari di rumah kami. Sehari-hari memang usaha ini dikerjakan oleh keluarga,’’ ujar Lamisan sambil mempersilakan masuk koran ini. Usaha yang dikerjakan satu keluarga ini memang diakui Lamisan sebagai usaha andalan mereka.
Sudah empat bulan ini bapak sembilan anak memulai usahanya sejak mengalami bangkrut 10 tahun lalu. ’’Dulu saya memulai usaha ini pada tahun 1989, awalnya memang tidak besar. Ya kecil-kecil dulu,’’ ungkapnya.
Lamisan tidak perlu belajar secara khusus untuk memproduksi kerupuk dengan rasa gurih ini. Pria berperawakan kurus ini mengaku belajar secara otodidak melalui teman-temannya.
’’Di tempat saya tidak ada yang memproduksi kerupuk. Kebanyakan warga sini bekerja sebagai buruh pabrik, petani dan pedagang,’’ ungkapnya.
Keberaniannya memulai usaha membuat kerupuk ini langsung didukung oleh istrinya. Keduanya bahu-membahu belajar membuat kerupuk yang berbeda dari kerupuk yang dijual selama ini.
Setelah melalui proses panjang dan berbagai percobaan, akhirnya pasangan suami istri ini ’’menciptakan’’ kerupuk baru dengan rasa yang lebih gurih. Bak putaran roda, setelah sepuluh tahun memulai usahanya, Lamisan mengalami kegagalan.
Harga bahan yang mahal serta krisis keuangan yang terjadi pada tahun 1999 memaksa usahanya gulung tikar. Beberapa karyawan yang sudah lama mengabdi pun mulai meninggalkan dia untuk mencari pekerjaan baru.
Namun setelah sepuluh tahun mengalami vakum, pasangan ini mulai memiliki keberanian memulai usahanya seperti dulu. Berbekal modal seadanya serta ruangan sebelah rumah yang sebelumnya tidak terpakai, Lamisan mulai membangun kebangkitan usahanya seperti dulu kala.
Beruntung seluruh keluarganya mendukung. Tidak hanya dukungan moril, anak-anaknya pun turut membantu tenaga. Secara bergantian, keluarga besarnya ikut membantu membuat kerupuk yang dinamakan kerupuk ’’memble’’ ini.
Lamisan sendiri tidak tahu kenapa kerupuk yang dibuatnya dinamakan kerupuk ’’memble’’.
’’Awalnya pembeli yang menanyakan apa ada kerupuk memble, ternyata itu kerupuk saya. Jadi yang memberi nama itu pembeli bukan saya,’’ ungkapnya. Selain itu, para pembeli pernah memberitahu kalau kerupuknya seperti lidah yang menjulur. ’’Makanya diberi nama memble,’’ ungkapnya.
Kerupuk yang diproduksinya ini memang tidak beda dengan kerupuk lain jika dilihat secara sekilas. ’’Tapi rasanya lebih gurih dan tidak keras,’’ ujarnya. Dengan menggunakan bahan-bahan seperti tepung terigu dan tepung kanji serta ditambah bumbu-bumbu seperti bawang putih, Lamisan mampu mengolah menjadi kerupuk dengan rasa khas.
’’Ada teknik sendiri saat menggoreng. Kalau orang lain pasti hasilnya keras terutama dibagian tengah kerupuk karena tidak punya tekniknya,’’ ungkapnya.
Selain karena kegigihannya, Lamisan juga ikut LSM yang bergerak dibidang usaha kecil. Berkat bantuan LSM Kumbo Karno yang diikutinya, Lamisan mendapat pelatihan dan mengetahui bagaimana mengembangkan bisnis kerupuknya.
Meski baru empat bulan menjalankan usahanya, pemasaran yang dilakukan Lasiman dibilang cukup maju. Kerupuk yang diproduksinya mampu mencapai Kabupaten Sidoarjo, Pasuruan dan seluruh Kabupaten dan Kota Mojokerto. ’’Biasanya ada sales yang datang kesini ambil kerupuk, tapi sebagian saya pasarkan sendiri. Kebanyakan di pasar-pasar,’’ ungkapnya.
Meski demikian, usaha yang digelutinya ini tidak lepas dari berbagai kendala. Saat ini, kendala utama yang dihadapinya adalah modal. Lamisan sendiri mengaku ingin usahanya menjadi besar.
Namun karena kurang modal, usahanya kini hanya terkesan jalan ditempat. ’’Keuntungannya masih belum banyak,’’ ungkap Nasinah, menimpali suaminya. Dia berharap. Pemerintah bersedia memberikan pinjaman lunak kepada usaha-usaha kecil seperti dirinya. ’’Kalau bisa tidak ada bunganya,’’ ungkap Nasinah.
Usaha kerupuk ’’Memble’’ yang digarap pasangan suami istri Lamisan-Nasinah sempat berjaya pada tahun 1990-an. Bahkan dikenal khas Kabupaten Mojokerto. Namun diserang krisis, usahanya bangkrut. Nah, kini, berupaya bangkit lagi dari tidurnya.
CukX__ Mojokerto
RUMAH dengan tembok berwarna putih yang berada di Desa Penompo, Kecamatan Jetis siang kemarin terasa sepi. Tidak ada aktivitas terlihat dari luar rumah. Hanya sebuah papan bertuliskan nama usaha penjual kerupuk bertengger di depan.
Sebuah papan terbuat dari anyaman bambu terpasang didepan rumah sebagai alas menjemur ratusan kerupuk yang masih basah.
Di samping rumah, sebuah ruangan berukuran 6x6 meter terlihat aktivitas. Canda tawa anak-anak kecil terdengar dari luar rumah. Di depan pintu ruangan yang banyak tersimpan karung-karung tepung terigu itu, Iva dan dua saudaranya tampak tekun meletakkan bahan setengah jadi kerupuk yang baru direbus.
Sesekali bocah perempuan berusia delapan tahun ini bercanda dengan kakaknya, Saifun dan sepupunya Maarif. Ketiganya sangat terampil membentuk kerupuk-kerupuk yang masih basah tersebut dan meletakkannya diatas nampan terbuat dari bambu.
’’Ya begini ini aktivitas sehari-hari di rumah kami. Sehari-hari memang usaha ini dikerjakan oleh keluarga,’’ ujar Lamisan sambil mempersilakan masuk koran ini. Usaha yang dikerjakan satu keluarga ini memang diakui Lamisan sebagai usaha andalan mereka.
Sudah empat bulan ini bapak sembilan anak memulai usahanya sejak mengalami bangkrut 10 tahun lalu. ’’Dulu saya memulai usaha ini pada tahun 1989, awalnya memang tidak besar. Ya kecil-kecil dulu,’’ ungkapnya.
Lamisan tidak perlu belajar secara khusus untuk memproduksi kerupuk dengan rasa gurih ini. Pria berperawakan kurus ini mengaku belajar secara otodidak melalui teman-temannya.
’’Di tempat saya tidak ada yang memproduksi kerupuk. Kebanyakan warga sini bekerja sebagai buruh pabrik, petani dan pedagang,’’ ungkapnya.
Keberaniannya memulai usaha membuat kerupuk ini langsung didukung oleh istrinya. Keduanya bahu-membahu belajar membuat kerupuk yang berbeda dari kerupuk yang dijual selama ini.
Setelah melalui proses panjang dan berbagai percobaan, akhirnya pasangan suami istri ini ’’menciptakan’’ kerupuk baru dengan rasa yang lebih gurih. Bak putaran roda, setelah sepuluh tahun memulai usahanya, Lamisan mengalami kegagalan.
Harga bahan yang mahal serta krisis keuangan yang terjadi pada tahun 1999 memaksa usahanya gulung tikar. Beberapa karyawan yang sudah lama mengabdi pun mulai meninggalkan dia untuk mencari pekerjaan baru.
Namun setelah sepuluh tahun mengalami vakum, pasangan ini mulai memiliki keberanian memulai usahanya seperti dulu. Berbekal modal seadanya serta ruangan sebelah rumah yang sebelumnya tidak terpakai, Lamisan mulai membangun kebangkitan usahanya seperti dulu kala.
Beruntung seluruh keluarganya mendukung. Tidak hanya dukungan moril, anak-anaknya pun turut membantu tenaga. Secara bergantian, keluarga besarnya ikut membantu membuat kerupuk yang dinamakan kerupuk ’’memble’’ ini.
Lamisan sendiri tidak tahu kenapa kerupuk yang dibuatnya dinamakan kerupuk ’’memble’’.
’’Awalnya pembeli yang menanyakan apa ada kerupuk memble, ternyata itu kerupuk saya. Jadi yang memberi nama itu pembeli bukan saya,’’ ungkapnya. Selain itu, para pembeli pernah memberitahu kalau kerupuknya seperti lidah yang menjulur. ’’Makanya diberi nama memble,’’ ungkapnya.
Kerupuk yang diproduksinya ini memang tidak beda dengan kerupuk lain jika dilihat secara sekilas. ’’Tapi rasanya lebih gurih dan tidak keras,’’ ujarnya. Dengan menggunakan bahan-bahan seperti tepung terigu dan tepung kanji serta ditambah bumbu-bumbu seperti bawang putih, Lamisan mampu mengolah menjadi kerupuk dengan rasa khas.
’’Ada teknik sendiri saat menggoreng. Kalau orang lain pasti hasilnya keras terutama dibagian tengah kerupuk karena tidak punya tekniknya,’’ ungkapnya.
Selain karena kegigihannya, Lamisan juga ikut LSM yang bergerak dibidang usaha kecil. Berkat bantuan LSM Kumbo Karno yang diikutinya, Lamisan mendapat pelatihan dan mengetahui bagaimana mengembangkan bisnis kerupuknya.
Meski baru empat bulan menjalankan usahanya, pemasaran yang dilakukan Lasiman dibilang cukup maju. Kerupuk yang diproduksinya mampu mencapai Kabupaten Sidoarjo, Pasuruan dan seluruh Kabupaten dan Kota Mojokerto. ’’Biasanya ada sales yang datang kesini ambil kerupuk, tapi sebagian saya pasarkan sendiri. Kebanyakan di pasar-pasar,’’ ungkapnya.
Meski demikian, usaha yang digelutinya ini tidak lepas dari berbagai kendala. Saat ini, kendala utama yang dihadapinya adalah modal. Lamisan sendiri mengaku ingin usahanya menjadi besar.
Namun karena kurang modal, usahanya kini hanya terkesan jalan ditempat. ’’Keuntungannya masih belum banyak,’’ ungkap Nasinah, menimpali suaminya. Dia berharap. Pemerintah bersedia memberikan pinjaman lunak kepada usaha-usaha kecil seperti dirinya. ’’Kalau bisa tidak ada bunganya,’’ ungkap Nasinah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar